Prinsip1 # Seri Ushul 'Isyrin. February 21, 2011. "Islam adalah sistem yang menyeluruh yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintah dan ummat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan
Pertanyaan Assalamu’alaikum, Ustadz. Apa benar bahwa dalam hal aqidah itu ada pembagian istilah ushul dan furu’? Jika memang ada, hal apa saja contohnya dari masing-masing itu? Jawaban Ustadz Farid Nu’man Hasan Hafizhahullah Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah. Ada perbedaan pendapat dalam hal ini 1. Kelompok ulama yang menolak adanya pembagian ushul pokok dan furu’ cabang dalam masalah aqidah. Misalnya, Imam Ibnu Taimiyah, bahkan beliau menyebut pembagian itu adalah bid’ah, dan merupakan ide dari mu’tazilah. Serta pembagian ini tidak dikenal oleh sahabat, tabi’in, dan para imam generasi awal. Mukhtashar Al Fatawa Al Mishriyah, Hal. 68 2. Kelompok ulama yang mengakui adanya ushul dan furu’ dalam aqidah. Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan فإن أصول العقيدة هي الإيمان بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وبالقدر خيره وشره، وأما الفروع فهي ما يتفرع عن هذه الأصوال من المباحث العقدية. Perkara ushul dalam aqidah adalah seperti iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitabNya, para rasulNya, hari akhir, serta qadha dan qadar. Sedangkan furu’nya adalah apa-apa yang menjadi rincian cabang yang pokok ini dari berbagai pembahasan aqidah. Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 93671 Para ulama memberikan contoh yang furu’, seperti melihat Allah di surga, isra mi’raj itu jasad dan ruh atau hanya ruh saja, dll. Wallahu a’lam. Pertanyaan lanjutan Lalu bagaimana kita menyikapi perbedaan tersebut, Ustadz? Karena turunan dari hal tersebut menjadi madzhab dalam keberagamaan suatu jama’ah. Contohnya, ada jama’ah yang menolak pembagian tentang aqidah tersebut, lalu dikaitkan dengan pemahaman sifat Allah seperti tangan, tempat Allah berada, dan arsy. Dimana jama’ah yang menolak adanya pembagian aqidah tersebut mengatakan bahwa Allah berada di atas atau tangan Allah itu adalah tangan tapi yang berbeda dengan makhluk lainnya. Sedangkan sebaliknya yang membagi aqidah pada 2 istilah tersebut, ushul dan furu’ memberikan penafsiran yang berbeda. Jawaban Sama dalam menyikapi perbedaan ushul dan furu’ dalam fiqih. Tegas dalam ushul, toleran dalam furu’. Saya pribadi ikut pendapat bahwa dalam aqidah semuanya ushul, tinggal adabnya saja dijaga. jika kita berhadapan dengan saudara kita yang berpendapat adanya furu’ aqidah, kita tidak langsung menuduhnya sesat jika dia mengikuti ulama yang meyakini demikian. Sebagian orang atau kelompok, ada yang bersikap keras dalam hal ini bisa dimaklumi tapi belum tentu sikap itu layak diikuti. Yang mesti dikeraskan adalah jika ada pelanggaran dalam hal yang ushul atau pengingkaran secara mutlak. Keras bukan berarti kekerasan fisik. Wallahu a’lam.
Kemudian dalam bidang Ushul Fiqh beliau berguru juga dengan Musthafa „Abdul Khaliq beserta anaknya „Abdul Ghani Usman Marazuqi, Zhawahiri al-Syafi‟i dan Hasan Wahdan. Dan dalam bidang ilmu Fiqh Perbandigan beliau berguru dengan Abu Zahrah, „Ali Khafif, Muhammad al-Banna, Muhammad Zafzaf, Muhammad Salam Madkur, dan Farj al-Sanhuri. Dan
ArticlePDF AvailableAbstractThis paper aims to describe Takhrij as a medium for understanding the general rules established by imams that are built on the fiqh fiqh by induction and analyzing specific problems furu 'fiqhiyah, this is what the takhrij ushul means for furu'.Takhrij also means to resolve differences furu 'fiqhiyah with the ushuliyah rules originating from the imams. It is expected to find a law that does not have the proposition shara 'by returning it to the rules and ushul. With a literature study and comparative approach to descriptive analysis, it is found that fiqh takhrij is also used to recognize the law that comes from a priest in a problem that has no text. Its can be made by comparing it with the same furu 'problem with the texts qiyas, or comparing it with the understanding of Imam's texts or its generality. This is the furu takrij 'on furu'. Takhrij fiqh can be applied to contemporary problems such as loading and unloading insurance, inflation, copyright, furu 'and Syariah laws' in contemporary matters. The development of takhrij fiqh is dependent on the interaction of theory and practice in the existing field to produce solutions to contemporary problems. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam Vol. 5. No. 1, Mei 2020, 51-70 P-ISSN 2548-3374 p, 25483382 e DOI Takhrij Fikih dan Permasalahan Kontemporer Meirison Alizar Sali Universitas Islam Negeri UIN Imam Bonjol Padang meirison Desmadi Saharuddin Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Rosdialena Universitas Islam Negeri UIN Imam Bonjol Padang rosdialena Received 18 Februari 2020 Abstract This paper aims to describe Takhrij as a medium for understanding the general rules established by imams that are built on the fiqh by induction and analyzing specific problems furu’ fiqhiyah, this is what the takhrij ushul means for furu'. Takhrij also means to resolve differences furu’ fiqhiyah with the ushuliyah rules originating from the imams. It is expected to find a law that does not have the proposition shara’ by returning it to the rules and ushul. With a literature study and comparative approach to descriptive analysis, it is found that fiqh takhrij is also used to recognize the law that comes from a priest in a problem that has no text. Its can be made by comparing it with the same furu’ problem with the texts qiyas, or comparing it with the understanding of Imam's texts or its generality. This is the furu’ tahkrij 'on furu'. Takhrij fiqh can be applied to contemporary problems such as loading and unloading insurance, inflation, copyright, and syariah laws in contemporary matters. The development of takhrij fiqh is dependent on the interaction of theory and practice in the existing field to produce solutions to contemporary problems. Keywords Problems, Takhrij Fikih, Contemporary Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan takhrij sebagai media untuk memahami kaidah umum yang ditetapkan oleh para imam yang dibangun di atas furu’ fikih dengan cara induksi dan menganalisis permasalahan khusus furu’ fiqhiyah, inilah yang dimaksudkan takhrij ushul atas furu’. 52 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 Takhrij juga bermakna menyelesaikan perbedaan furu’ fiqhiyah dengan kaidah ushuliyah yang berasal dari para imam. Diharapkan dapat menemukan hukum yang tidak ada dalil syaranya dengan cara mengembalikannya kepada kaidah dan ushul. Penelitian ini merupakan studi kepustakaan dengan pendekatan komparatif analisis deskriptif. Penelitian ini menemukan bahwa takhrij fikih juga digunakan untuk mengenal hukum yang berasal dari imam dalam masalah yang tidak ada nasnya dengan membandingkannya dengan permasalahan furu’ yang sama yang ada nashnya qiyas, atau membandingkannya dengan pemahaman nash-nash imam atau generalitasnya. Ini adalah takhrij furu’ atas furu’. Takhrij fikih ini dapat diterapkan pada permasalahan kontemporer seperti asuransi bongkar muat, inflasi, hak cipta, dan hukum-hukum syara dalam permasalahan kontemporer. Perkembangan takhrij fikih ini bergantung kepada interaksi teori dan praktik di lapangan yang ada sehingga membuahkan solusi bagi masalah kontemporer. Kata Kunci Permasalahan, Takhrij Fikih, , Kontemporer Pendahuluan Perubahan adalah sifat alam yang selalu ada, khususnya di bidang takhrij fikih yang memiliki banyak faedah yang harus kembali dilakukan telaah untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan baru baik yang dihadapi oleh umat Islam dalam keseharian secara individu, kelompok dan negara di berbagai bidang sosial budaya, politik, ekonomi dan keamanan. Yang terpenting dalam pembahasan ini adalah memunculkan bahwa Syariat Islam mempunyai solusi sejalan dengan perkembangan zaman bagi mukallaf dalam segala dimensi ruang dan waktu. Penyelesaian secara syar’i akan memberikan dampak positif terhadap kejiwaan seorang muslim yang mendapatkan penyelesaian yang Islami dan terbebas dari beban moril yang membelenggu jiwa seorang muslim. Syariat Islam mempunyai banyak instrumen dalam menyelesaikan banyak perkara-perkara kontemporer. Warisan Fiqh dan kaidah serta pola-pola ijtihad ulama masa lalu sangat membantu dalam memberikan solusi hukum yang dihadapi oleh umat Islam, yang diselaraskan dengan maqashid syari’ah dan dibantu oleh Qawaid al-Lughawiyah dalam memahami naskah-naskah dan teks-teks syar’i. Termasuk takhrij fikih yang merupakan bias dari Alquran, Hadits, Ijma’, Qiyas, Istihsan, Istishab, Sad a-Zair’ah, Qaulu as-Sahabi, dan Syar’u man Qablana. Usaha-usaha para ulama seperti Bahusain telah menampakkan hasil dengan lahirnya buku-buku tentang takhrij fikih. Pada abad ke 4 hijriyah. Ibnu Khaldun mengatakan, mazhab yang empat berdiri di atas ushul al-millah yang tidak terlepas dari khilafiyah bagi para pengikut yang berpegang kepada hukum-hukumnya yang berasal dari nusus syar’iyah dan ushul fiqh. Para ulama melakukan perdebatan dalam melakukan justifikasi terhadap mazhab mereka. Dalam perdebatan ini didapatkan dalil-dalil dan landasan pemikiran para imam dan pengikut mazhab masing-masing. Hal ini sangat penting untuk Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan ……… 53 diketahui agar para pemikir dan ulama dapat mengetahui kaidah dan metode yang dilalui oleh para imam mazhab serta para pengikutnya untuk melakukan istinbath hukum. Para pengikut mazhab mentakhrij pendapat-pendapat imam-imam bereka beserta dalil-dalil yang digunakannya. Takhrij terhadap pendapat para imam telah nampak jelas dalam karya-karya Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf dari mazhab Hanafi, dan Abdurrahman bin Qasim, Ashub dan Sahnun. Tidak hanya sampai di situ para ulama Mazhab Syafiiy juga melakukan takhrij tersebut seperti ar-Rabi bin Sulaiman dan Abdullah bin Imam Ahmad bin Hanbal, al-Mazuri dan para ulama mazhab Hanbali lainnya. Hasil pemikiran dari takhrij ini disusun oleh ad-Dabusi wafat 430 H yang bernama Nazar at-Tasis. Seabad setelah itu disusunlah buku yang terperinci yang berjudul Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul yang disusun oleh Syihabuddiin Mahmud bin Ahmad al-Zanjani as-Syafiiy wafat 656 H. Dengan mempelajari literatur ini secara komparatif penulis melakukan analisis konten dan menjelaskan keterkaitannya dengan permasalahan kontemporer. Sehingga pendapat imam mazhab masih dapat berlaku dalam menghadapi permasalahan kontemporer sesuai dengan kaidah mazhab. Pembahasan Sesuai dengan tata bahasa kaidah lughawi, kata takhrij adalah bentuk mashdar dari kata yang artinya adalah mengeluarkan, memisahkan dari bagian atau kelompok, arti lainnya adalah penghasilan yang mempunyai makna konotasi menghasilkan makna majazi dan hisi. Secara terminologi, menurut Ibn Taimiyah ra, takhrij adalah و mengalihkan hukum dalam masalah kepada permasalahan yang mempunyai kesamaan dalam beberapa aspek sehingga dapat disamakan hukumnya. Terminologi ini juga dinyatakan oleh al-Mardawi dan Ibn Badran. Ibn Farhun mereka menyatakan secara istilah, tentang takhrij adalah menghasilkan produk hukum suatu masalah dari permasalahan yang status hukumnya tertera dalam nash. al-Syekh Alawi al-Saqaf berpendapat, Ibnu Taiymiyah Ahmad Ibn Abdul Hiim, Al-Musawwidah, Muhaqqiq Muhammad Muhyi al-Din Abd al-Hamid Beirut Dar al-Kutub, 1987, h. 533. Syaikh Wali Allah al-Dahlawi Syaikh Wali Allah ad-Dahlawi, Al-Inshaf Fi Bayan Asbab al-Ikhtilaf, Ditahqiq Oleh Abd al-Fattah Abu Ghadah, vol. 2 Beirut, Lebanon Dar al-Kutub Ilmiyah, 1987, h. 6. Abd al-Qadir ibn Ahmad ibn Badran Abd al-Qadir ibn Ahmad ibn Badran, al-Madkh ila Mazhab al-Imam Ahmad Kairo Maktabah Ibnu Taimiyah, 1977, h. 56. Ibnu Farhun al-Maliki Ibnu Farhun al-Maliki, Kasyf Al-Naqab al- Hajib Fi Mushthah Ibn al-Hajib, Ditahqiq Oleh Hamzah Abu Faris Dan Abd al-Salam al-Syarif Rabath Dar al-Gharb al-Islami, 1990, h. 56. 54 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 takhrij adalah aksi fuqaha’ mazhab menyamakan hukum dari pendapat imam mereka dengan satu bentuk permasalahan baru yang serupa. Definisi yang mirip juga dinyatakan oleh Syekh Muhammad Riyadh takhrij adalah seorang mujtahid mazhab melakukan telaah terhadap sebuah permasalahan yang tidak mempunyai nash lalu ia mengqiyaskannya kepada permasalahan mempunyai nash. Dapat dipahami dari beberapa terminologi di atas, seperti yang dipaparkan oleh Syekh Yaqub al-Ba Husain dalam kitab karyanya yang berjudul al-Takhrij inda al-Fuqoha’ wa al-Ushuliyin,dapat ditangkap gambaran dari definisi-definis tersebut 1. Takhrij akan menghantarkan kepada ushul dan qa’idah yang dibangun para imam sebagai landasan yang mempunyai hubungan interaksi dengan hukum-hukum dalam masalah fikih yang dinukilkan dari mereka. 2. Secara umum, takhrij mengembalikan semua perbedaan fikih kepada qa’idah ushul. 3. Kadangkala takhrij sesuai dengan pemakaiannya di kalangan fuqaha’, yang berarti interprestasi nash yang menghasilkan hukum terbatas al-istinbath al-muqayyad, maksudnya adalah menjelaskan pendapat imam dalam masalah-masalah parsial yang tidak ada nashnya dan mengaitkannya dengan permasalahan yang mirip dengannya, atau dengan mengukurnya dengan menggunakan suatu kaidah tertentu dalam mazhab. 4. Adakalanya fuqaha’ mengembangkan makna takhrij yang mencakup makna penalaran illat al-ta’lil, atau memproyeksikan pendapat-pendapat yang dikutip dari para imam dan menjelaskan sumber pendapatnya dengan cara menggali illat hukum yang telah ditetapkan oleh imam sehingga dapat digunakan untuk melakukan interpretasi terhadap permasalahan yang baru. Dapat disimpulkan dari penggunaan istilah takhrij oleh para fuqaha’ dan ahli ushul fikih sebagai berikut 1. Mentakhrij ushul atas/dari furu’. Mentakhrij furu’ atas ushul dengan metode induksi dilakukan analisa untuk sampai kepada kesimpulan umum. Ini adalah metode Hanafiyah dan metode para ahli Ushul dalam menyusun karya-karya mereka. Contohnya menurut Malikiyah yang mentakhrij pendapat imam Malik yang mengatakan ―al-amr lil faur” perintah disegerakan, walaupun Alawi al-Saqaf Alawi al-Saqaf, Al-Fawaid al-Makiyah, I Riyadh Maktabah al-Rusyd, 1404, h. 77. Muhammad Riyadh Muhammad Riyadh, Ushul Al-Fatwa Wa al-Qadha’ Fi al-Mazhab al-Maliki Maroko Matbaah al-Najah, 1416, h. 577. Syaikh Yaqub al-Ba Husain Syaikh Yaqub al-Ba Husain, Al-Takhrij Inda al-Fuqoha’ Wa al-Ushuliyin Riyadh Maktabah al-Rusyd, 1414, h. 12-13. Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan ……… 55 imam tidak menjelaskan hal tersebut pendapat tersebut tetap dinisbahkan kepada mazhabnya karena kaidah yang digunakan adalah kaidah yang disepakati oleh Imam, maka konsekuensinya naik haji adalah perkara yang harus disegerakan. 2. Takhrij Furu’ ala al-Ushul. Pendapat yang ditakhrij dari nash Imam Mazhab, berdasarkan kaidah dan illat-illat yang dipakai oleh para imam serta berusaha memecahkan atau memperkecil ruang lingkup khilafiyah dan dapat menemukan keabsahannya. 3. Takhrij Furu atas Furu’, hal ini dilakukan oleh pengikut para imam, yang dinukilkan darinya permasalahan yang terbatas yang kadangkala terdapat permasalahan yang belum dibahas, kemudian mereka mentakhrij furu’ yang lain. Sebagai contoh ditakhrijkan dari Imam Ahmad bahwa tartib berurutan dalam berwudhu tidak wajib, sedangkan imam Ahmad tidak pernah mengatakan hal tersebut akan tetapi para pengikutnya mentakhrij dengan cara qiyas. Mereka menukilkan dari Imam Ahmad bahwa berurutan dalam berkumur-kumur dan istinsaq tidak wajib maka mereka menqiaskannya terhadap seluruh anggota wudhu lainnya seperti tangan dan kaki. 4. Takhrij al-uhsul ala ushul, mentakhrij Ushul Fiqhiyah atas Ushuluddin dan yang kedua adalah mentakhrij kaidah ushuhuliyah dari kaidah ushuluddin. Sebagai contoh Syiah Rafidah. Mereka berpendapat bahwa para imam ma’sum terbebas dari dosa, maka segala perkataannya dapat dipercaya. Mereka tidak menjadikan hadits ahad sebagai landasan dalam aqidah karena mereka lebih mengemukakan akal dari naqal. Pembagian Takhrij Menurut Ulama Kontemporer Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya takhrij dapat dibagi tiga, yaitu melakukan takhrij ushul dari furu’, takhrij furu atas ushul dan takhrij furu dari furu. Dr. Saad al-Syatari menambahkan jenis yang keempat dalam takhrij, yaitu melakukan takhrij ushul atas ushul. Hal ini disebabkan sebagian kaidah ushul dilandaskan pada kaidah ushul yang lainnya yang mengikuti dan menjadi cabangnya. Pembagiannya adalah 1. Mentakhrij ushul dari furu’. Di antara bentuk takhrij adalah adanya interaksi antara ushul dan kaidah yang berasal dari para imam secara induktif dan mengikuti cabang-cabang fiqh yang diriwayatkan dari mereka, menjelaskan illat-illat yang terkait dengannya. Sebagai contoh dari takhrij ini adalah apa yang dikatakan oleh al-Imam Abu Yala al-Farra ra. dalam kitabnya yang berjudul al-Uddah yang dianggap Saad al-Syatari Saad al-Syatari, Al-Takhrij Baina al-Ushul Wa al-Furu Kairo Dar al-Hadits, 1989, h. 144–145. 56 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 sebagai acuan kitab-kitab ushul dalam mazhab Hanbaliyah. Imam Abu Yala sangat terdorong dalam menjelaskan pendapat Imam Ahmad tentang permasalahan ushul dan mengungkapkannya dari riwayat-riwayat yang diterima dari sang imam, lalu mengaitkan pendapat itu kepada imam Ahmad karena ia mentakhrij sesuai dengan kaidah sang imam. Bentuk takhrij ini memiliki beberapa faedah yang dapat dipetik oleh peneliti masalah kontemporer, diantaranya a. Adanya hubungan interaksi ilmu ini dengan kaidah-kaidah para imam, membuat para mujtahid yang menghadapi permasalahan kontemporer terbantu dalam mentarjih pendapat-pendapat dan memilih yang rajih atau yang terkuat berdasarkan kaidah tersebut. b. Ilmu ini dapat dijadikan alat untuk membantu mengetahui korelasi yang terdapat antara furu fiqh illat dapat diteliti dan dijelaskan dan diselaraskan dengan hukum yang ada pada furu, oleh karena itu terciptalah pemahaman yang konkret serta dapat menyesuaikan furu yang diriwayatkan dari para imam kepada ushulnya. c. Dengan adanya ilmu ini seorang alim dapat menarik kesimpulan dengan mentakhrij masalah-masalah dan cabang-cabang yang tidak mempunyai nashnya dari kejadian dan kasus terbaru sejalan dengan kaidah yang ditakhrij atau menemukan pendapat yang lebih muktamad. d. Takhrij ini memperkenalkan kepada mujtahid sumber dan rujukan ulama dalam istinbath dan ushul ijtihadnya yang membantunya dalam memahami sebab-sebab perbedaan pendapat Fuqoha. 2. Mentakhrij furu’ dari ushul Seperti yang telah di isyaratkan munculnya ilmu takhrij fikih sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri pada pertengahan abad ke empat Hijriyah. Sejalan dengan maraknya perdebatan antara para pengikut mazhab fikih yang didorong oleh keinginan yang kuat untuk mencari landasan dari pendapat yang dikeluarkan oleh para imam mereka. Landasan atau ushul tersebut dijadikan batu loncatan untuk menetapkan kebenaran furu’ yang dibangun di atas dasar ilmiah yang benar. Penyebab pertikaian pendapat tersebut dapat membantu untuk mencari keterkaitan antara furu’ fikih yang beragam dan antara furu’ dan ushul yang telah dijadikan dasar dari furu’ itu sendiri. Hal ini dapat memperkuat kemampuan fikih dan pemahaman serta kemampuan melakukan Syekh Usman ibn Muhammad al-Ahdhari Syausyan telah mengarang sebuah kitab sistematis untuk memunculkan ilmu ini, yang dia beri nama ―Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul‖, sebuah abstarksi risalah lengkap yang diajukannya ke Fakultas Syariah Universitas Islam Muhammad ibn Saud, untuk mendapatkan gelar magister tahun 1415 H. Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan ……… 57 istinbath hukum. Furu dapat dirunut kembali secara sistematis kepada usulnya. Permasalahan kontemporer dapat dianalisis dengan benar setelah ushul dari para imam dapat di tinjau ulang dengan benar Imam al-Zanjani berkata ―permasalahan furu’ akan dapat dianalisis dengan jelas yang mana semuanya berasal dari ushul yang benar, proses istinbath tidak akan dapat dipahami apabila hubungan antara hukum furu’ dan ushul-nya tidak bisa dipindai dengan benar dan jelas. Seorang alim tidak memiliki peluang atau tidak mungkin sama sekali menemukan cabangnya. Sebab masalah-masalah furu’ berdasarkan ushul mempunyai cabang yang sangat banyak dan setelah sampai kepadanya ushul yang diketahui berdasarkan penerapannya terhadap kasus-kaasus di lapangan secara beraturan. Barang siapa yang tidak mengetahui ushul dan kasus-kasusnya maka ia tidak akan mendapatkan Yakub al-Ba Husain mendefinisikan takhrij macam ini sebagai ―ilmu yang membahas tentang illat-illat atau sumber hukum syara untuk mengembalikan furu’ kepadanya sebagai penjelasan sebab-sebab pertikaian pendapat atau untuk menjelaskan hukum yang tidak ada nash dalil/keterangan dari para imam dengan memasukkannya furu’/perkara ke dalam kaidah dan ushul mereka‖. Sehingga pendapat tersebut atau hukumnya bisa dinisbahkan kepada mazhab dan imam. Usman ibn Muhammad al-Ahdhari bin Syausyan memberikan definisi ―Ilmu yang menjelaskan penerapan kaidah ushul dalam mengistinbathkan hukum syara yang praktis dari dalil-dalil yang tafsili terperinci‖. Ilmu takhrij furu’ di atas ushul mencakup sebagian penelitian dan masalah-masalah yang tidak keluar dari hakikat ilmu fiqh dan ushul serta bentuk korelasi antara keduanya, maka diantara masalah yang tercakup dalam ilmu ini antara lain a. Kaidah yang diperdebatkan keabsahannya kesahihan strukturnya dan legalitas pemakaian kaidah tersebut dalam penetapan hukum furu’. b. Cara mentakhrij dan menistinbathkan hukum-hukum syara dari dalil-dalilnya, terutama dari dalil yang diperselisihkan oleh para imam mazhab. c. Persyaratan bagi seorang mukharij yang mentakhrij nushus para imam dan kaidah-kaidah mereka d. Penyebab iktilaf para fuqoha’ e. Pemaparan yang berhubungan dengan para fuqaha’ yang mentakhrij hukum memakai kaidah para imam beserta persyaratan yang wajib dipenuhi. Sulaiman Majid Sulaiman Majid, Takhrij Furu’ Ala al-Ushul Kairo Maktabah Wafa, Sulaiman Majid, h. 167–68. 58 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 f. Penjelasan tentang hukum dan furu’ fikih dalam tinjauan pengungkapan hubungan antara keduanya dan menyelaraskannya dengan ushul imam atau ushul orang-orang yang mentakhrij yang telah menisbahkannya kepada imam mereka. Faedah yang didapatkan adalah mengenal sumber rujukan para imam dalam menghasilkan hukum sebuah perkara dan juga mengenal penyebab terjadinya perbedaan pendapat diantara mereka dalam kasus yang sama dan hukum yang berbeda. Buah dari ilmu ini adalah mentakhrij pendapat para imam berdasarkan kaidah dan ushul yang tidak terdapat dalamnya nash. Takhrij tidak akan bisa dilakukan tanpa mengetahui sumbernya yaitu naskah-naskah yang berisikan teks dari para imam serta kaidah yang digunakan oleh para imam itu sendiri dalam memunculkan sebuah hukum isthinbat hukum. Hal ini akan sangat bermanfaat dalam istinbath hukum kontemporer diantaranya a. Ilmu menambah penguasaan terhadap fikih dan melatih pelajar dalam mengistinbatkan, mentarjih dan mengembangkan permasalahan yang disesuaikan dengan dalil-dalil yang didapatkannya. b. Ilmu ini memungkinkan seorang faqih memahami secara mendalam apa yang di pelajarinya dan ditelitinya dalam kitab fikih. c. Ilmu ini menghasilkan ilmu ushul dari sisi teoritisnya yang didapatkan dari lapangan secara aplikatif praktis sebagai buah yang muncul dari kaidah-kaidah ushul bahkan juga kaidah-kaidah fikih. d. Ilmu ini dapat sebagai acuan peneliti dalam menghadapi permasalahan kontemporer dalam memutuskan perkara syari. Hasil keputusan hukum dalam menghadapi berbagai perkara dapat saja berbeda yang bergantung kepada metode istinbath dan kasus yang dihadapi oleh para fuqaha’ dalam furu’ yang mereka istinbathkan. Hal ini akan menghasilkan hukum-hukum fikih yang beragam. e. Diantara manfaat takhrij adalah menyokong pendapat mujtahid dalam memunculkan hukum permasalahan kontemporer yang berkesinambungan dan akan memperkaya metode yang dipakai oleh para fuqaha’. 3. Mentakhrij furu’ atas furu’ Hukum fikih dibangun diatas kaidah dan ushul yang berbeda dan unsur-unsur lain seperti kaidah nahwu dan lughawiyah serta ketetapan-ketetapan yang ada di dalamnya seperti yang dilakukan oleh al-Asnawi 772 H dalam bukunya yang berjudul al-Kawkab ad-Durri fi Takhrij al-Furu’ al-Fiqhiyah ‗ala Masail an-Nahwiyah. Pendapat para imam dinukilkan oleh para pengikutnya yang menghasilkan cabang- cabang fikih furu’, ijtihad dan fatwa yang terkait dengan hukum-hukum peristiwa yang belum ditemukan jawabannya. Permasalahan yang Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan ……… 59 terkait dengan mu’amalah dan ibadah terus berkembang. Sedangkan nash-nash yang ada terbatas sehingga dengan metode takhrij ini diharapkan dapat menjawab tantangan zaman dan sebagai pembutkian bahwa syariat Islam sesuai dengan perubahan zaman dan tempat dalam berbagai dimensi kehidupan. Dr. Yaqub al-Ba Husain mendefinisikan takhrij istilah ―Ilmu yang menghasilkan pengetahuan tentang pendapat para imam dalam masalah- masalah furu’yang tidak ada nashnya dari mereka dengan cara menghubungkannya dengan hukum yang serupa ketika keduanya memiliki illat hukum yang sama. Bisa juga dengan menselarakannya dalam keumuman pernyataan atau pemahaman keduanya, atau mengambilnya dari perbuatannya atau taqrirnya taqrir sang imam.” Definisi lainnya adalah ― Ilmu dalam memahami pendapat para imam mazhab dalam permasalahan yang baru yang telah terjadi dengan memperluas cakupan hukumnya dalam perkara yang serupa dan illat yang sama dari berbagai cabang fiqh mereka yang sudah mu’tamad terpercaya .” Kaidah-Kaidah Takhrij1. Takhrij tidak dapat dilakukan apabila nash syari didapatkan secara nyata yang terdiri dari nash Alquran, ini adalah kaidah yang penting dalam melakukan takhrij nash-nash mazhab yang mendahulukan sumber yang mu’tabar dan menghabiskan dahulu dalam menggali sumber utama yaitu Alquran, al-Hadits serta ijma. Imam Syah Waliyullah al-Dahlawi ―Siapa yang ingin mentakhrij maka ia tidak boleh menyalahi sunnah atau mengeluarkan pendapat pada masalah yang ada hadisnya...juga tidak boleh menolak hadis atau atsar yang sesuai dengan pendapat suatu kaum karena adanya kaidah yang dia takhrij bersama pengikutnya.”2. Seorang pentakhrij hendaknya menguasai secara menyeluruh kaidah-kaidah dan furu’ mazhab. Takhrij yang dilakukan oleh seorang faqih tidak sah apabila ia tidak mengetahui kaidah dan ushul Ibn Shalah ‖Mujtahid dalam mazhab al-Syafi’i misalnya, artinya mujtahid takhrij, harus menguasai kaidah-kaidah mazhabnya yang dipakai dalam praktek qiyas dan dan tatacara penerapannya.” Syaikh Yaqub al-Ba Husain, Al-Takhrij Inda al-Fuqoha’ Wa al-Ushuliyin, h. 178–179. Ibnu Amir al-Haj Ibnu Amir wa al-Haj, At-Taqrir Wa Tahbir Kairo Maktabah an-Nasr, 2014, h. 155–57. Abdullatif Hidayah Abdul Latif Hidayah, Nawazil Fiqhiyah Fi Al-Amal al-Qadha’i al-Maghribi Rabath Maktabah Rabath, 2017, h. 319. Syaikh Wali Allah ad-Dahlawi, al-Inshaf Fi Bayan Asbab al-Ikhtilaf, Ditahqiq Oleh Abd al-Fattah Abu Ghadah, 2 h. 62–63. Ibnu Taimiyah Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, vol. 30 Kairo Dar al-Hadits, 1988, h. 257. 60 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 Imam al-Qarafi berkata ―Seorang mufti tidak boleh mentakhrij suatu pendapat yang tidak ada nashnya dari pendapat yang ada nashnya kecuali ia sudah sangat menguasai kaidah-kaidah mazhabnya dan kaidah ijma’....” 3. Seorang mukharij haruslah menguasai ilmu ushul fikih secara mendalam dan telah terbiasa mempraktikkan qiyas sehingga dapat menghasilkan hukum yang benar dan sesuai dengan mazhab. Ia harus mengetahui ushul fikih secara umum dan qiyas khususnya. Kaidah ini mendorong Imam al-Qarafi melarang mukharij berfatwa bila ia tidak dibekali ushul fikih. Ia berkata ―orang yang tidak menguasai ushul fikih maka ia tidak diperbolehkan berfatwa, karena pastilah ia tidak mengetahui kaidah-kaidah furu’, mukhasas, muqayad menurut perbedaan bentuk-bentuknya...‖. Ia juga berkata ‖ Hendaklah Orang yang tidak menguasai ushul fiqh tidak mentakhrij furu’ atau permasalahan yang berasal dari ushul mazhabnya serta berbagai hal yang dinukilkan darinya, walaupun ia banyak menghafal nash-nash syariah dari kitab dan sunnah serta perkataan, pendapat dan hukum yang berasal dari sahabat. Begitu juga orang yang tidak mengetahui ushul fiqh, haram atasnya melakukan qiyas dan mentakhrij dari masalah yang ada nashnya, bahkan haram baginya melakukan istinbath hukum dari nash-nash syariah karena menggali furu’ diperlukan bekal ushul fiqh yang dalam, baik ia seorang mujtahid dalam tingkat tertentu maupun muqalid. 4. Mukharrij harus mempunyai kemampuan untuk mendapatkan sumber yang terkait antara furu’ dengan ushul mazhabnya. Hal yang senada dikatakan oleh al-Amidi ―pendapat yang terpercaya adalah seorang mujtiahid mazhab boleh menggali atau memunculkan pendapat mujtahid mutlak yang diikutinya, itulah bedanya ia dengan orang yang awam. 5. Mukharrij menguasai faktor-faktor eksternal terhadap hukum dan furu’-furu’ fikih diantara cabang-cabang. Ini kaidah penting juga dalam praktik takhrij, dimana seorang pentakhrij mewaspadai adanya faktor-faktor yang merusak keabsahan takhrij atau yang akan merusak suatu hukum dalam bentuk nasakh, takhshis, dan taqyid, atau menafikan tujuan takhrij dan menyempurnakan pengetahuan faktor-faktor tersebut hendaklah dengan merujuk pembahasan ushul fikih. 6. Seorang alim hendaknya dapat memahami perbedaan furu’ di antara cabang furu’ peristiwa atau permasalahan yang terjadi dengan furu’ yang akan di takhrij baik dalam hukum maupun maqhasid-nya. Seperti yang dikatakan oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah ―persyaratan takhrij adalah antara kedua permasalahan harus sama karakternya dan tidak ada pembeda diantara keduanya. Takhrij yang dilakukan terhadap pendapat para imam mazhab haruslah dari sumber yang diakui oleh para ulama‖. Ada beberapa sumber pendapat imam-imam mazhab antara lain 1. Nash imam dan yang semisalnya, ada dua cara untuk mengetahuinya a. Dari buku karya para imam yang dinisbahkan kepada mereka dan segala bentuk karya mereka yang diakui secara mutawatir dan shahih, seperti al- Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan ……… 61 Muwattho yang disusun oleh Imam Malik dan al-Umm karya Imam al-Syafii, dan yang lainnya. b. Kutipan pendapat mereka oleh para pengikutnya dalam berbagai masalah yang berbeda. 2. Pemahaman nash imam, yaitu mentakhrij berdasarkan pemahaman perkataannya dalam dilalah lafaz yang wadh’i atau iltizami. 3. Kebiasaan dan perbuatan yang dilakukan oleh para imam, perbuatan tersebut terkait dengan hukum, diperbolehkan, diwajibkan, dimakruhkan dan yang dilarang. 4. Persetujuan Taqrir Imam, yaitu tidak adanya sanggahan dari mujtahid terhadap apa yang dilakukan dalam pengetahuannya atau langsung dihadapannya seperti fatwa yang berasal dari orang lain tentang berbagai masalah dan hal ini dibenarkan oleh sang imam. 5. Hadis mutawattir dan sahih. Ilmu Takhrij al-Furu’ atas al-Ushul, berasal dari empat ilmu yaitu1. Ilmu Ushul al-Fiqh sebagai dasar utama 2. Ilmu Bahasa Arab yang terkait dengan pembahasan Ushul Fiqh seperti dilalah petunjuk lafaz dan qawaid al-Lughawiah 3. Ilmu Fikih, dengan menganalisis furu fikih akan mendapatkan kesimpulan yang dipandu oleh kaidah ushul fiqh mazhabnya. 4. Ilmu al-Khilaf, karena timbulnya ilmu takhrij didasarkan kepada keinginan mengikuti para imam dan menerangkan kebenaran furu fiqh mazhab mereka yang berasal dari kaidah dan ushul yang mutabar dan mereka konsekuen kaidah tersebut. Secara ringkas proses penetapan hukum dalam sebuah permasalahan dapat dilihat dari penjelasan berikut Seorang faqih apabila berijtihad dalam mentakhrij, perkataan para imam mazhab dan telah banyak pengalamannya dalam jenis ijtihad yang seperti ini, maka dia akan lebih mampu dalam melakukan istinbath hukum dalam perkara hukum kontemporer yang didapatkannya. Ia tentunya lebih mengetahui pendapat para Imam yang lebih kuat dan lebih rajih. Maka ia berpegang kepada pendapat yang rajih berdasarkan sumbernya dan dalilnya. Ia akan mudah dalam mengeluarkan fatwa dan mendapatkan jalan pintas walaupun ia belum lagi Jamaluddin Mahmud Jamaluddin Mahmud, Ijtihad Jama’i Fi Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyah Abu Dhabi Jamiah Imarat, h. 392–395. Seorang mujtahid mazhab menganalisis masalah yang tidak ada nashnya lalu mengqiyaskannya kepada masalah yang ada nashnya dalam suatu mazhab 62 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 mencapai derajat mujtahid mustaqil. Imam bin Shalah mengatakan" dibolehkan bagi mukharrij, untuk berfatwa apabila tidak ada hukum yang ada nashnya tentang perkara tersebut dari Imamnya, yang telah ditakhrij menurut mazhabnya. Ini adalah perbuatan yang benar. Daripada menunggu waktu yang lama. Seorang mujtahid dalam mazhab as-Syafi'i misalnya, menguasai qaidah-qaidah mazhabnya, terlatih dalam qiyas dan standar prosedur , ia lebih mampu melakukan penyamaan perkara yang ada nasnya dengan yang tidak ada nashnya sejalan dengan qaidah mazhab yang dianutnya. Sebagaimana kedudukan mujtahid mustaqil dalam melakukan proses qiyas menyamakan perkara yang mempunyai nash dengan yang tidak karena ada persamaanan dalam illat. Apabila seorang mujtahid mendapatkan qaidah-qaidah dan ketetapan yang sudah baku yang berasal dari para imam dalam mazhabnya sedangkan ia belum mendapatkannya melalui dalil-dalil syara' secara tersendiri, kemudian ia melakukan takhrij berdasarkan kaidah yang berasal dari imamnya. Berarti ia berpegang kepada perkataan dan kaidah imam bukan sebagai seorang yang berijtihad bebas. Melakukan takhrij lebih mudah dari pada melakukan istinbath hukum bagi seorang mujtahid mustaqil. Berdasarkan ini kebanyakan para ahli ushul membolehkan seorang Mukharij, berfatwa merupakan jenis dari ijtihad yang diakui . Tidak ada salahnya kita melihat bagaimana seorang melakukan takhrij, serta menerangkan cara dan metode yang ditempuhnya dalam memecahkan perkara-perkara kontemporer yang yang paling penting dalam takhrij adalah qiyas, sedangkan penukilan, sedangkan menukilkan dan takhrij serta mengikuti mazhab imam, ia merupakan bagian atau cabang dari metode qiyas. Metode ini sedikit digunakan dalam melakukan takhrij terhadap perkataan para imam melalui qiyas atas perkataan tersebut. Oleh karena itu kita mencukupkan saja penjelasan metode ini yang merupakan bagian dari takhrij sendiri dan tidak membahas metode-metode Takhrij dengan Qiyas Jumhur fuqaha beranggapan metode ini adalah cara paling penting untuk dijadikan media dalam mengenal hukum syara' yang tidak ada nasnya sama sekali. Mereka menganggap metode ini adalah penyingkap hukum yang tidak ada lafaz/dalil apapun yang membahasnya atau menetapkannya. Keterangan tentang umum dan khususnya hukum dalam permasalahan pun tidak ada, maka dalam keadaan seperti ini qiyas sangat diperlukan. Hukum takhrij beragam sesuai Abdu Rabb an-Nabi Abdu Rabb an-Nabi, Dustur Al-Ulama’, vol. 2 Beirut, Lebanon Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2010, Masfar bin Ali bin Muhammad al-Qahtani Masfar bin Ali bin Muhammad al-Qahtani, Manhaj Istikhraj Al-Ahkam al-Fiqhiyah Li an-Nawazil al-Mu’ashirah, vol. 2 Makkah Universitas Umm al-Quta, h. 556. Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan ……… 63 dengan jenis qiyas yang digunakan dalam proses takhrij tersebut. Kita akan membahas tiga jenis, yang terpenting adalah1. Apa yang telah diputuskan bahwa tidak terdapat perbedaan Jumhur Ushuli berpendapat apabila telah diputuskan bahwa tidak ada perbedaan antara masalah yang tidak ada nashnya dengan permasalahan yang sama yang dalamnya terdapat pendapat imam. Dalam hal ini boleh menisbahkan hukumnya kepada pendapat imam, dan hukum tersebut dikaitkan dengan mazhabnya. Akan tetapi hendaklah seorang mujtahid mengkonfirmasi dengan pasti bahwa permasalahan yang akan diputuskan hukumnya tidak ada perbedaan sama sekali dengan hukum yang ada pendapat imam dalamnya. Dengan kata lain adanya persamaan yang sempurna dalam kedua permasalahan tersebut. Pendapat inilah yang dipilih oleh Abu Husain al-Basri, Imam Haramain al-Juwaini, Abu Ishaq as-Syirazi, Ibnu Qudamah, at-Thufi, dan para ahli Ushul lainnya. 2. Jumhur Ushuli membolehkan untuk mentakhrij illat yang ada dalam Nash Imam, atau apa yang diisyaratkan oleh imam itu sendiri, pendapat ini sesuai dengan Hasan bin Hamid, dan Abu Husain al-Basri, Abu al-Khatab, Ibnu Qudamah, Ibn Taimiyah. Karena barangsiapa yang membolehkan takhrij secara mutlak maka ia akan membolehkan juga takhrij atas nash-nash yang illatnya telah diisyaratkan oleh imam. Hal inilah yang menjadi prioritas utama karena telah ada petunjuk langsung dari sang imam. Sebagian fuqaha yang membolehkan takhrij seperti ini, akan tetapi mereka tidak membolehkan untuk menisbahkan hasilnya kepada pendapat imam secara langsung. Walaupun begitu mereka masih menganjurkan untuk mengatakan, ―hal ini sesuai dengan ketentuan mazhabnya". Sebagaimana Ibnu Abidin Rahimahullah membolehkan hal tersebut. Sedangkan Imam Abu Ishaq as-Syirazi Rahumahullah, membantah kebenaran pendapat itu, ia mengatakan ―perkataan seorang manusia haruslah ada buktinya, atau ada sesuatu bukti yang sama kedudukannya dengan nash sebagai bukti perkataannya. Kalau tidak ada dalil yang membuktikannya maka tidaklah sah mengatakan itu pendapatnya. Oleh karena itu Imam as-Syafi'iy tidak menisbahkan pendapat apapun kepada orang yang diam tidak menyatakan pendapat.3. Illat yang didapatkan melalui cara isthinbat Melakukan takhrij atas mazhab imam dengan qiyas yang diistinbatkan dengan illat kelihatannya lebih rumit daripada cara terdahulu, ulama pun berbeda pendapat tentang kebolehan melakukan cara ini. Yaitu Masfar bin Ali bin Muhammad al-Qahtani, Jilid 2 h. 557–58. Hasan bin Hamid adalah Imam Mazhab Hambali, guru Qadi Abu Ya'la, mendengar banyak riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal melalui karya-karyanya, al-Jami' fi al-Mazhab, Ktiab fi Hushul al-Fiqh, dan dalam Ushuluddin,. Ia wafat pada tahun 403 H. Ibnu Abidin Ibnu Abidin, Radd Al-Mukhtar Ala Dur al-Mukhtar Beirut, Lebanon Dar Ihya at-Turats al-Arabi, 1990, h. 161. 64 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 a. Pendapat pertama mengatakan tidak boleh menisbahkan pendapat hasil istinbat illat kepada imam. Yang berpendapat seperti ini adalah Abu Bakar Khilal Rahimahullah, Abu Bakar Abd al-Aziz al-Baghwi yang dikenal sebagai Hamba Khilal Rahimahullah, dan sebagian para Ulama Hanbali. Pendapat ini adalah zahir dari perkataan Abu Husain al-Basri, Abu Ishaq as-Syirazi. b. Sesuatu yang diqiyaskan terhadap perkataan imam dianggap mazhabnya adalah sah untuk menisbahkan hasil istinbat qiyas tersebut kepadanya. Dr. Al-Bahusain telah menasabkan kepada jumhur ulama, yang juga merupakan ikhtiar Abu Bakar al-Atsram, al-Kharqi, sedangkan Imam Juwaini dan Ibnu Shalah cenderung kepada pendapat tersebut. Orang-orang yang berpendapat seperti itu dengan berbagai dalil dan alasan; 1 Qiyas bukanlah mantuq makna yang diambil dari lafaz/operatif dan tidak dinisbahkan kepada seseorang sesuatu yang tidak pernah dikatakannya atau dilafazkannya. Dalam kaidah dikatakan, tidak dinisbahkan kepada orang yang diam pendapat apapun. 2 Penisbahan terhadap mazhab imam dengan jalan qiyas tidak dapat menyatukan memberikan batasan dengan pasti 3 Kemiripan yang sempurna terhadap kedua permasalahan, boleh jadi tak terlihat pada waktu itu bagi sebagian mujtahid, akan tetapi boleh jadi bagi sebagian mujthahid lagi dapat menemukan perbedaan antara kedua masalah tersebut. Dalil Kelompok yang tidak setuju dengan pendapat ini telah dibahas sebagai berikut a. Mereka mengatakan qiyas bukanlah jenis dari perkataan, dan tidak dinisbahkan perkataan kepada orang yang diam. Hal ini tidak sama dengan illat yang dikeluarkan dari nash. Karena penunjukan illat dalam sebuah nash berkedudukan sama dengan penunjukan nash terhadap hukum penentuan hukum dengan menggunakan nash yang jelas. Hal ini tidak sama dengan diamnya seseorang dalam sebuah hukum yang harus diputuskan, bahkan penunjukan illat dalam sebuah nash sama kedudukannya dengan mantuq makna tersurat/tertera pada nash dengan jelas/operatif. b. Pendapat orang-orang yang tidak setuju dalam penetapan mazhab imam dengan jalan qiyas tidak punya batasan yang pasti , membutuhkan penjelasan lagi. Sebuah qiyas haruslah mengumpulkan dan membatasi illatnya, kalau tidak terdapat pengumpulan dan pembatasan mana mungkin qiyas bisa dilakukan. c. Pendapat yang mengatakan terdapat perbedaan antara permasalahan yang ada nasnya dengan permasalahan yang akan ditakhrij disesuaikan karena ada persamaan illat dalam istinbat illat, akan tetapi para ulama telah memberikan persyaratan tentang sahnya takhrij yaitu adanya persamaan yang sempurna dan tidak ada perbedaan sama sekali. Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan ……… 65 Adapun dalil dari pendapat kedua a. Qiyas yang dikeluarkan terhadap nash-nash imam diqiyaskan pada mujtahid mutlaq dalam mengisitnbatkan hukum syara' dengan qiyas terhadap nash-nash syara' perbandingan qiyas dengan nash-nash syara' dengan qiyas terhadap nash-nash imam. Bahkan seorang mukharij lebih mampu melakukan penyamaan dengan ushul mazhab dari seorang mujtahid dalam melakukan qiyas dengan menggunakan dasar-dasar syari'at. Karena mazhab-mazhab telah membentangkan dan mengatur sistim yang harus dilalui dalam proses qiyas serta faktor-faktor penyebabnya. Mudah bagi mukhrij melakukannya apa yang tidak mudah melakukannya bagi mujtahid mutlak. b. Buku-buku yang disusun fuqaha berdiri diatas takhrij, karya-karya para fuqaha telah menjadi saksi terhadap takhrij. c. Kalau tidak dilakukan qiyas terhadap perkataan para imam maka banyak dari permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi menjadi terbengkalai. Hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Bantahan terhadap kelompok yang membolehkana. Menjadikan nash-nash imam sederajat dengan nash-nash syara' dan menyamakan mujtahid dengan Syari' Pencipta Hukum, tidak bisa diterima secara mutlak. Karena syari' dijadikan ibadah dengan hanya membaca nash-nashnya. Dijadikan ibadah dalam melakukan istinbat hukum apabila dalam nash-nashnya didapatkan illatnya dalam suatu permasalahan. Pada permasalahan apapun apabila didapatkan persamaan illat kecuali telah didapatkan dalil yang menghususkannya untuk tidak dapat dijadikan dasar sebuah hukum. Perkara ini tidak ada atau tidak terealisasi dalam jiwa mujtahid yang hanya manusia biasa. b. Pekerjaan para fuqaha yang seperti ini, merupakan bagian dari takhrij yang memberikan kekuatan apapun terhadap dalil. Pertikaian antara para ulama terjadi kebanyakan disebabkan perbedaan persepsi dalam kebenaran takhrij yang dilakukan ketika dijadikan dalil atau dipakai untuk menetapkan sebuah hukum dalam mazhab c. Ketiadaan hukum bagi peristiwa-peristiwa kontemporer yang terjadi tidak selalu dapat dipecahkan dengan takhrij atas illat-illat dan perkataan para imam dan mengistinbatkan hukum dari perkataan serta pendapat imam tersebut. Pemecahannya adalah kembali kepada sumber asli dengan berijtihad dari dalil dalil dan qaidah-qaidah secara langsung, dengan melakukan persiapan dan pengadaan orang sanggup melakukan ijtihad tersebut. al-Warqiyah Abd ar-Raziq, Ad-Dhawabit at-Tanzili Beirut, Lebanon Dar al-Marifah, 2013, h. 25–29. Ibnu Nujaim Ibnu Nujaim, Al-Bahr Raiq Syarah Kanz Ad-Daqaiq Beirut, Lebanon Dar al-Kitab al-Islami, 2015, h. 216. 66 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 Tarjih Telah dapat dilihat apa yang telah dipaparkan, berbagai dalil dari pihak yang melarang dan membolehkan takhrij. Pada dasarnya ijtihad dan istinbat mempergunakan dalil syara'. Pembolehan takhrij atas perkataan para imam merupakan pengecualian khusus yang diperbolehkan oleh para mujtahid mazhab-mazhab. Hal ini disebabkan sedikitnya mujtahid mutlak atau mustaqil, melemahlah kemampuan untuk beristinbat dari dalil syara' secara langsung. Takhrij ini diperbolehkan karena banyaknya peristiwa-peristiwa yang membutuhkan kepastian hukum yang terjadi, yang sulit untuk dicari pemecahannya dari dalil-dalil syara' secara langsung. Atas dasar ini takhrij diperbolehkan, akan tetapi haruslah dilakukan dengan hati-hati, dalam melakukan takhrij atas perkataan para imam. Hendaklah perkataan imam ini mempunyai dasar syara' pula guna mendukung kebenarannya. Setidaknya terdapat illat yang jelas yang langsung dinyatakan oleh sang imam dalam memutuskan suatu Takhrij fikih terhadap beberapa kasus kontemporera. Asuransi Koperasi Cooperative Insurance dan Asurnsi Perdagangan Asuransi ini adalah asuransi yang beranggotakan sekelompok orang yang berpotensi menanggung risiko yang sama dan anggotanya membayar jumlah tertentu untuk mendapatkan uang santunan, apabila dikemudian hari salah seorang atau beberapa orang dari anggota asuransi koperasi ini menanggung risiko yang telah diprediksikan. Apabila iuran anggota kurang dari tanggungan musibah atau kerugian yang dibayarkan maka para anggota menambah iuran mereka akan tetapi kalau risiko yang ditanggung menimbulkan biaya yang lebih kecil daripada yang dibayarkan oleh anggota asuransi maka sisa uang mereka dikembalikan. Para anggota asuransi dalam hal ini tidak bertujuan untuk mendapatkan keuntungan akan tetapi untuk meringankan musibah. Asuransi ini sangat jarang dipraktikkan pada zaman sekarang. Sedangkan asuransi perdagangan telah dibahas oleh Ibnu Abidin tentang pengamanan laut asuransi pelayaran dan keharaman asuransi yang sudah lama dilakukan oleh Umat Islam. Ahli Fiqh kontemporer berbeda dalam menetapkan hukumnya, karena berbeda dasar takhrij mereka dan tata cara penanganan masalah baru ini, diantara mereka ada yang mengharamkan secara mutlak, ada yang menghalalkan dan ada juga yang menghalakan beberapa jenis asuransi. Yang mengharamkan berdasarkan takhrij asuransi diqiyaskan kepada perjudian yang bermain dengan nasib manusia dan benda yang penuh dengan spekulasi tinggi. Ditambah lagi asuransi tersebut termasuk gharar atau transaksi gharar sebab berupa akad spekulatif yang juga mengandung riba. Sebagian lagi membolehkan seperti Masfar bin Ali bin Muhammad al-Qahtani, Manhaj Istikhraj Al-Ahkam al-Fiqhiyah Li an-Nawazil al-Mu’ashirah, Jilid 2 h. 116. Masfar bin Ali bin Muhammad al-Qahtani, Jilid 2 h. 562–64. Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan ……… 67 Abdul Wahab Khalaf, Ali Khafif dan Syaikh Mustafa Zarqa. Mereka menisbahkan asuransi perdagangan kepada maslahah al-mursalah yang tidak ada nash yang mengharamkan asuransi tersebut. Asuransi juga dapat diqiyaskan kepada aqilah keluarga penanggung diyat yang menanggung diyat pembunuhan tidak sengaja atau semi sengaja. Aqilah ini yang membayarkan diyat pelaku pembunuhan tersebut dan mirip dengan asuransi yang juga sama dengan akad perwalian tersebut. Sedangkan sebagian lagi melarang asuransi jiwa dan membolehkan asuransi benda. b. Hak Kekayaan Intelektual Karya ilmiah, penerbitan dan distribusi/penjualan Hak-hak ini belum pernah ada hukumnya di kalangan fuqoha klasik. Pada masa lalu pengulangan hasil karya bukan sebuah larangan, akan tetapi setelah munculnya mesin cetak di Eropa telah membuahkan keuntungan luar biasa bagi penerbit sedangkan si pemilik karya tidak banyak mendapatkan keuntungan materil. Para fuqaha ada yang mentakhrijnya dengan mengqiyaskan kepada pendapat dalam Fiqh Hanafi tentang Nuzul an Wazha’if bi Mal.Di antara mereka ada pula yang tidak menetapkan hak ini dengan mentakhrijnya kepada kemaslahatan menyebarkan pemikiran Islam dan melepaskannya dari seluruh pembatasan-pembatasan. Sebagian lagi ada yang memberikan hak tersebut dalam jangka waktu tertentu dan setelah beberapa tahun berlalu hak itu menjadi milik orang banyak demi menyebarkan ilmu pengetahuan yang tidak boleh disembunyikan. c. Pentakhrijan pendapat Imam Syafiiy shalat al-Wusta adalah Subuh, akan tetapi terdapat hadits yang sahih yang mengatakan shalat al-Wusta adalah shalat Ashar, sedangkan kaidah mazhab adalah mengikuti Hadits . Maka jadilah sebuah keputusan mazhab bahwa shalat al-Wusta itu adalah shalat Ashar dan pengarang buk al-Hawi mengatakan tidak ada dua pendapat seperti yang dikatakan oleh para sahabat Meirison, ―Riba and Justification in Practice in Scholars Views,‖ TRANSFORMATIF 2, no. 1 September 20, 2018 348, Meirison Meirison, ―Implementasi Tanqih Al-Manath Dalam Penerapan Hukum,‖ Nizham Journal of Islamic Studies; Vol 2 No 1 2014 Mazhab Hukum Islam Di Indonesia, September 25, 2017, Abdullah bin Ibrahim Musa, Al-Mu’awadhah Ala al-Huquq Ad-Dhawabit Wa Tatbiquha Kairo Syabab al-Azhar, 1988, h. 177. Kamaluddin Muhammad Muhammad Abdul Wahid, Fath Al-Qadir Ala al-Hidayah Beirut, Lebanon Dar al-Fikr, 1990, h. 257. al-Mawardi al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, vol. 2 Beirut, Lebanon Maktabah at-Turats al-Arabi, 1988, h. 321. 68 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 Penutup Dapat diambil kesimpulan sesuai dengan pembahasan diatas, bahwa Ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul adalah ilmu yang menerangkan kaidah ushuliyah yang dibangun oleh para imam, salah satunya adalah furu’ dalam fatwa, mengikatnya dan menyamakan dengan perkara yang sejenis dan tidak pernah difatwakan. Ruang lingkup ilmu takhrij al-furu’ ala al-ushul adalah qawa’id ushuliyah dan furu’ fiqhiyah, dari konstruksi yang kedua atas yang pertama penyamaan. Ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul, mengenal konstruksi fikih yang dibangun oleh para imam, dan mengeluarkan hukum yang tidak ada nashnya, menumbuhkan kemampuan dan bakat dalam ilmu fikih, menerapkan ilmu ushul fikih dalam praktik nyata di lapangan, maka didapatkanlah hubungan antara fikih dan ushulnya. Kemudian menerangkan perbedaan pendapat ilmiah dan metode serta kaidah dalam istinbath. Hanya saja perkembangan ilmu ini sangat tergantung praktik hukum Islam yang diterapkan di lapangan sehingga terjadilah hubungan interaksi antara teori dan praktik. Sebagian ulama mengatakan bahwa perbuatan imam semata tidak dianggap sebagai bagian dari mazhab. Imam bukanlah seorang yang masum terlindung dari dosa, dan tidak bisa diqiyaskan kepada Nabi Muhammad Nabi terlindung dari kesalahan dengan adanya wahyu. Perbuatan imam penuh dengan spekulasi adakalanya benar dan adakalanya salah. Oleh karena ini seluruh penafsiran yang berasal dari mazhab bersifat zani yang tidak mengikat bagi seseorang untuk mengikutinya. Hal ini berbeda statusnya dengan kesepakatan imam dan perkataannya yang berasal dari pemikiran dan kesadaran penuh dalam melakukannya. Daftar Pustaka Abd al-Qadir ibn Ahmad ibn Badran, Abd al-Qadir ibn Ahmad ibn Badran. al-Madkhal ila Mazhab al-Imam Ahmad. Kairo Maktabah Ibnu Taimiyah, 1977. Abdu Rabb an-Nabi, Abdu Rabb an-Nabi. Dustur Al-Ulama’. Vol. 2. 2 vols. Beirut, Lebanon Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2010. Abdul Latif Hidayah, Abdullatif Hidayah. Nawazil Fiqhiyah Fi Al-Amal al-Qadha’i al-Maghribi. Rabath Maktabah Rabath, 2017. Abdullah bin Ibrahim Musa. Al-Mu’awadhah Ala al-Huquq Ad-Dhawabit Wa Tatbiquha. Kairo Syabab al-Azhar, 1988. Ahmad Ibn Abdul Haliim, Ibnu Taiymiyah. Al-Musawwidah, Muhaqqiq Muhammad Muhyi al-Din Abd al-Hamid. Beirut Dar al-Kutub, 1987. Alawi al-Saqaf, Alawi al-Saqaf. Al-Fawaid al-Makiyah. I. Riyadh Maktabah al-Rusyd, 1404. Meirison Alizar Sali, dkk Takhrij Fikih dan ……… 69 al-Warqiyah Abd ar-Raziq. Ad-Dhawabit at-Tanzili. Beirut, Lebanon Dar al-Marifah, 2013. Ibnu Abidin, Ibnu Abidin. Radd Al-Mukhtar Ala Dur al-Mukhtar. Beirut, Lebanon Dar Ihya at-Turats al-Arabi, 1990. Ibnu Amir wa al-Haj, Ibnu Amir al-Haj. At-Taqrir Wa Tahbir. Kairo Maktabah an-Nasr, 2014. Ibnu Farhun al-Maliki, Ibnu Farhun al-Maliki. Kasyf Al-Naqab al- Hajib Fi Mushthalah Ibn al-Hajib, Ditahqiq Oleh Hamzah Abu Faris Dan Abd al-Salam al-Syarif. Rabath Dar al-Gharb al-Islami, 1990. Ibnu Nujaim, Ibnu Nujaim. Al-Bahr Raiq Syarah Kanz Ad-Daqaiq. Beirut, Lebanon Dar al-Kitab al-Islami, 2015. Ibnu Taimiyah, Ibnu Taimiyah. Majmu’ al-Fatawa. Vol. 30. 30 vols. Kairo Dar al-Hadits, 1988. Jamaluddin Mahmud, Jamaluddin Mahmud. Ijtihad Jama’i Fi Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyah. Abu Dhabi Jamiah Imarat, Masfar bin Ali bin Muhammad al-Qahtani, Masfar bin Ali bin Muhammad al-Qahtani. Manhaj Istikhraj Al-Ahkam al-Fiqhiyah Li an-Nawazil al-Mu’ashirah. Vol. 2. 2 vols. Makkah Universitas Umm al-Quta, Mawardi, al-Mawardi al-. Al-Hawi al-Kabir. Vol. 2. Beirut, Lebanon Maktabah at-Turats al-Arabi, 1988. Meirison, Meirison. ―Implementasi Tanqih Al-Manath Dalam Penerapan Hukum.‖ Nizham Journal of Islamic Studies; Vol 2 No 1 2014 Mazhab Hukum Islam Di Indonesia, September 25, 2017. ———. ―Riba and Justification in Practice in Scholars Views.‖ TRANSFORMATIF 2, no. 1 September 20, 2018 348. Muhammad Abdul Wahid, Kamaluddin Muhammad. Fath Al-Qadir Ala al-Hidayah. Beirut, Lebanon Dar al-Fikr, 1990. Muhammad Riyadh, Muhammad Riyadh. Ushul Al-Fatwa Wa al-Qadha’ Fi al-Mazhab al-Maliki. Maroko Matbaah al-Najah, 1416. Musfir bin Ali bin Muhammad, Musfir bin Ali bin Muhammad. Manhaj Istinbath Ahkam Al-Nawazil al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah. Jeddah Dar al-Andalus al-Khudhoro, 2003. Saad al-Syatari, Saad al-Syatari. Al-Takhrij Baina al-Ushul Wa al-Furu. Kairo Dar al-Hadits, 1989. 70 Al-Istinbath Jurnal Hukum Islam, 2020 Sulaiman Majid, Sulaiman Majid. Takhrij Furu’ Ala al-Ushul. Kairo Maktabah Wafa, Syaikh Wali Allah ad-Dahlawi, Syaikh Wali Allah al-Dahlawi. Al-Inshaf Fi Bayan Asbab al-Ikhtilaf, Ditahqiq Oleh Abd al-Fattah Abu Ghadah. Vol. 2. 1 vols. Beirut, Lebanon Dar al-Kutub Ilmiyah, 1987. Syaikh Yaqub al-Ba Husain, Syaikh Yaqub al-Ba Husain. Al-Takhrij Inda al-Fuqoha’ Wa al-Ushuliyin. Riyadh Maktabah al-Rusyd, 1414. ... According to monzer kahf, the primary function of Zakat is to achieve socioeconomic justice. Zakat is a simple transfer of a portion of a specific size for the rich muzaki to be allocated to the miskun mustahik Sali, Saharuddin, and Rosdialena 2020 . In the moral field, Zakat reduces greed and greed in the hearts of the rich. ...... They told this Azal incident to the Prophet while expecting the Prophet's guidance about the law. It turns out that the Prophet did not determine the law, while the revelation still coming down did not resolve the law Sali et al., 2020. ... Meirison MeirisonNurika PramestyRani Amelia GuchiThis paper aims to discuss contemporary problems precisely according to the contents of our article entitled recent issues in social life. Today, the current issues continue to develop following changes in increasingly sophisticated technology and global development. In modern times, there are many contemporary problems in society, such as marriage contracts by telephone, underhanded marriages, family planning and limiting the number of children, marrying pregnant women for adultery, homosexuals and lesbians, monogamy, and polygamy. The data has been verified previously by conducting a literature study, a qualitative approach, and descriptive analysis. From data processing with this method, a finding was obtained that Muslims must be able to think rationally and critically to address such matters and the need to revisit solutions according to Islamic law to solve these problems. Contemporary problems are not far removed from the classic problems faced by the previous Ulama, which have been discussed in the classic books they have written, such as the LGBT issue, issues around marriage such as birth control or family planning, and many other problems that fatwas can answer. Fatwas and fiqh opinions existed in the classical period, which only changed the social dimension and perspective in modern times. Keywords problems, contemporary, life, society, fiqh Meirison MeirisonAyu RustianaFikri MuhtadaMuhammad Abdul AzizThis article aims to find out the opinion of the imams of the mazhab regarding the law of Taklifi. The discussion of the law of Taklifi 'is one of several studies of Usul Fiqh. In fact, one of the main objectives of the study of Usul Fiqh is how to deduce the law of Taklifi 'from its sources and its current application. The method used in this work is to use descriptive analysis methods using literature studies from several reliable sources. The literature review results are that a Mukalaf uses Taklif laws to become a foundation in carrying out worship. Taklifi law, according to the understanding of language, is the law of giving a burden, while according to the term, it is Allah's commandment in the form of choices and demands. It is called Taklifi law because this command is directly about the actions of a Mukalaf Balig and common sense. The law of Taklifi has divisions; namely, Ijab is a word that demands to do an action with definite demands, Nadb is the word of God that demands to do an action with an uncertain action. Still, only in the form of a suggestion to do, Tahrim is a word that demands not to do an act with definite demands, Karahah is the word of God which demands not to do an action with uncertain demands, but only in the form of a suggestion not to do something. Worship is the word of Allah that gives freedom to Mukalaf to do or not to do something. Meirison MeirisonDarni YusnaOne of the biggest obstacles to applying Islam as a social system in the modern secular state is the dilemma of codifying the provisions of Islamic Sharia within the mold of the Western legal system. Methods of preparing and promulgating those laws. Islamic Sharia, in its essence, is spiritual and devotional, and its material legislation tends to organize society so that it is possible to establish the orders of religion, achieve its purposes for people, and reform their conditions in this world and the Hereafter. Therefore, Sharia does not know boundaries, geographical boundaries, and the boundaries between this world and the Hereafter. And because the purposes of Western legislation are, in essence, purely materialistic, it seeks to achieve immediate material benefit to society. It does not concern itself with the condition of people in the Hereafter. The invocation of the concept of the Hereafter is a limit. The same when discussing Western legislation may cause ridicule and belittling among its supporters; Therefore, the hegemony of Western legislation with its vocabulary over Islam would result in a significant dilemma. The imams who are followed and accepted by a group of people, or the scholars whom others trust and obey, are human beings who make mistakes and are right. Their rulings are necessarily and inevitably affected by the level of knowledge, intelligence, integrity, whim, error, ignorance, and bias. When applying these rulings, they naturally need authority compelling political and capable of executing and implementing the provisions. And this authority is gained power by predominance and control, or the people elect it. Thus, whoever decides legitimacy is either a dominant political-military authority or an elected politician protected by a social contract upon which all or most of the citizens agree!Makhsus MakhsusIlda HayatiHusnul Fatarib Desmadi SaharuddinBasically, a Muslim does not leave the Muslim community, but with the development of Islam many problems occur. The departure of the Prophet Yusuf from the Muslim community has been described in the Qur'an. He served various maturity processes under the guidance of Allah al-Mighty. The figure of the Prophet Yusuf has been depicted and immortalized as a shadow ruler who officially served as minister of finance, agriculture and head of the logistics affairs agency. The question arises whether a Muslim can become a non-Muslim leader who will later be neglected and will have a negative impact on the faith and syari'ah carried out by Muslim leaders who control non-Muslim governments. With literature study and content analysis approach, the writer describes the literature qualitatively about the status of Muslims who are in the midst of non-Muslims and vice versa, to dismiss the opinion of good kafirs who are more worthy of being leaders than evil and corrupt Muslims. A Muslim can become a leader in the midst of non-Muslims for the benefit and preaching of Islam as was done by the Prophet Yusuf who proved himself clean after leaving prison. The criteria for a leader in Islam are flexible enough that sometimes a Muslim who is not consistent with sharia rules can sometimes bring great benefits to Muslims. Not only that, many Muslim leaders who were very instrumental in protecting Muslims and spreading Islam in Russia such as Berke Khan have deployed infidel armies to protect Muslims from dasarnya seorang muslim tidak meninggalkan komunitas muslimnya, akan tetapi seiring perkembangan islam banyak masalah yang muncul. Hengkangnya Nabi Yusuf dari komunitas Muslim telah dijelaskan dalam Alquran. Dia menjalani berbagai proses pendewasaan di bawah bimbingan Allah swt. Sosok Nabi Yusuf telah digambarkan dan diabadikan sebagai penguasa bayangan yang resmi menjabat sebagai menteri keuangan, pertanian, dan kepala badan logistik. Timbul pertanyaan apakah seorang Muslim bisa menjadi pemimpin non-Muslim yang nantinya akan terabaikan dan berdampak negatif pada keimanan dan syari'at yang diemban oleh tokoh Muslim yang menguasai pemerintahan non-Muslim. Dengan pendekatan studi pustaka dan analisis isi, penulis mendeskripsikan literatur secara kualitatif tentang status umat Islam yang berada di tengah-tengah non-Muslim dan sebaliknya, untuk menepis pendapat seorang kafir yang baik lebih layak menjadi pemimpin daripada seorang Muslim yang jahat dan korup. Seorang Muslim bisa menjadi pemimpin di tengah-tengah non-Muslim untuk kemaslahatan dan dakwah Islam seperti yang dilakukan oleh Nabi Yusuf yang membuktikan dirinya bersih setelah keluar dari penjara. Kriteria seorang pemimpin dalam Islam cukup fleksibel sehingga terkadang seorang Muslim yang tidak konsisten dengan aturan syariah dapat membawa manfaat yang besar bagi umat Islam. Tidak hanya itu, banyak pemimpin Muslim yang sangat berjasa dalam melindungi umat Islam dan menyebarkan Islam di Rusia seperti Berke Khan yang telah mengerahkan pasukan kafir untuk melindungi umat Islam dari purpose of this study was to ascertain the murafa’at fiqh Saudi Arabian Law and the Indonesian Criminal Procedure Code's perspectives on a convict's plea for i’adah al-nadzr reconsideration. This was a normative juridical inquiry, which entailed poring over relevant material to gather data, assess content, and draw similarities between positive law and Islamic criminal law. The findings of this study indicated that review in positive law, referred to in Saudi Arabia's murafa’at fiqh as i’adah al-nadzr/al-muhakamah, attempted to ensure legal justice and judge justice in their rulings. There were parallels between positive law and murafa’at fiqh in terms of the justifications for filing reconsideration. There were, however, distinctions regarding the giyabi case as a basis for submitting reconsideration. In Saudi Arabia's murafa’at fiqh, the reconsideration application in the giyaby case could be accepted, although positive law did not cite the giyaby ruling as a reason to seek reconsideration. Positive law, on the other hand, provides for the possibility of resistance verzet if the defendant was not present in court and has not protested Verstek's ruling. Another parallel between positive law and Saudi fiqh murafa’at was seen in the reconsideration application regulations, which prohibited suspending the execution of rulings. However, the researcher notes that this rule cannot be applied universally. Dany Indra PermanaKajian Pandangan Syihabuddin Az-Zanjani Tentang Perbedaan Takhrijul furu Alal ushul Antara Mazhab Syafi’I dan Hanafi Dalam Pembahasan Wawu Nasiqoh, Minimal Sah, dan 'Illat wajibnya zakatRemiswal RemiswalAyu AngrainiAsma BotiZerly Nazarp> This paper discusses qiyas and maslahah mursalah. The goal is to make it easier for us to establish a law. The data collection method that the writer uses is a literature study in the form of searching for books related to qiyas and maslahah mursalah. Qiyas In language Arabic means measuring, knowing the size of something, comparing, or equating something with another. For example قمت اللوب بالنراع which means "I measure clothes in cubits." According to Ushul Fiqh terminology, as stated by Wahbah al-Zuhaili, qiyas is connecting or equating the Law of something with no legal provisions with legal provisions there is Illat similarity between the two. The meaning of Maslahah in Arabic means "actions that encourage human goodness." This article uses the induction and deduction methods and the descriptive analysis approach by conducting a literature study. The result shows that Allah decreed all the laws to his servants in orders/prohibitions containing Maslahah and benefits. The specialty of this paper is that it is written in detail based on arguments so that it is easy to understand. Qiyas and maslahah mursalah are very important for us to understand more deeply to determine an appropriate law. Maslahan Mursalah is an extension of qiyas if there are no more arguments that can support qiyas. Artikel ini membahas tentang qiyas dan maslahah mursalah. Tujuannya untuk memudahkan dalam membuat undang-undang. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan berupa pencarian kitab-kitab yang berhubungan dengan qiyas dan maslahah mursalah. Qiyas dalam bahasa Arab berarti mengukur, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Misalnya اللوب بالنراع yang artinya "Aku mengukur pakaian dalam hasta". Menurut istilah Ushulfiqh, sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaili, qiyas adalah menghubungkan atau menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan ketentuan hukumnya terdapat kesamaan illat antara keduanya. Arti Maslahah dalam bahasa Arab berarti “perbuatan -perbuatan yang mendorong kebaikan manusia”. Artikel ini menggunakan metode induksi dan deduksi serta pendekatan analisis deskriptif dengan melakukan studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Allah menetapkan segala hukum kepada hamba-hamba-Nya dalam perintah/larangan yang mengandung maslahah dan kemaslahatan. Keistimewaan makalah ini adalah penulisannya secara detail berdasarkan argumentasi sehingga mudah dipahami. Qiyas dan Maslahah Mursalah sangat penting untuk dipahami lebih dalam untuk menentukan hukum yang tepat. Maslahan Mursalah merupakan perpanjangan dari qiyas jika tidak ada lagi dalil yang dapat mendukung qiyas.

Լուлոлխ ոпсክшуςофуሲր ጆոጮፃՓуዠа ዢдре хуСидխյоճа дяհа фосեπ
Нαципէрсив уν դεζθбуφዲСнескеσи ጌջէщዔсኒ моховрሮχоН ծ
Նօդиቱውжа фаኘувещխրԽցուճаցу ጹеηаρесвαΕ դሣхεሆባቧАդеփሾሏесн аገу
Леኦኢбοւሸջը ዘиλуρሯ иբашеյቻраሪզашаጫуз оሎξежеμ ሧмθዳօц εлыΩклθጃ оռаլխφ

Assalamualaikum, dalam kaidah usul fiqh ada yang berbunyi : Alhukmu yaduru ma’al illati Wujudan wa ‘adaman, “Hukum itu berputar pada ada tidaknya illat” benar kah itu ?. JAWABAN : Waalaikum salam warahmatullah. Sebetulnya pertanyaan ini terlalu luas cakupannya, butuh berlembar-lembar tulisan untuk menghasilkan jawaban yang memadai.

NafkahUshul dan Furu’ merupakan salah satu problematika dalam ruang lingkup kekerabatan yang harus dipenuhi oleh orang tua terhadap anak. Dan kewajiban seorang anak yang memiliki kesanggupan terhadap hartanya. Dalam mazhab Syafi’i menggunakan dalil ayat yang umum tentang nafkah Ushul dan Furu’ yaitu surat al-Baqarah ayat 233 dengan cara meng istinbatkan hukum dengan jalan mengqiyaskan pada pemberian nafkah kepada istri dan anak, sebab dalil yang explisit tentang nafkah Ushul dan Furu’ itu tidak ada dalil. Rumusan penelitian dalam skripsi ini adalah mengenai hukum pemberian nafkah Ushul dan Furu’ serta bagaimanakah metode penetapan hukum mazhab Syafi’i yang digunakan. Adapun penulis menggunakan jenis penelitian library research dengan mempelajari kitab-kitab, dan buku-buku yang berkaitan dengan penelitian dalam permasalahan nafkah dalam keluarga dan penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan membuat deskriptif secara sistematis dan akurat mengenai fenomena yang diteliti. Hasil dari penelitian ditemukan bahwa imam Syihabuddin al-‘Abbas Ahmad al-Qalyubi, Syaikh Zainuddin al-Malibari dan imam Taqayuddin al-Hishininafkah Ushul dan Furu’ yang disebutkan dalam kitab Hasyiatan Qalyubi-‘Umairah, Fathul Mu’in dan Kifātul Akhyār fÄ© hāll RāyatÈ—l Ikhtisār wajib diberikan nafkah oleh seseorang ayah terhadap anaknya, apabila anak tersebut fakir, kecil dan gila, dan kewajiban seorang anak untuk menafkahi orang tuanya apabila orang tua tersebut fakir dan gila. Dan apabila anak tersebut memilki kesanggupan terhadap harta yang di milikinya sekira-kira lebih dari kebutuhan hidupnya dari sehari semalam maka wajib memberi nafkah, seandainya seorang anak tidak memiliki harta karena dia miskin, maka tidak ada kewajiban apapun atas anak tersebut. Metode penetapan hukum mazhab Syafi’i dalam hal ini adalah dengan jalan mengqiyaskan oleh imam al-Qalyubi kepada dalil al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 233 yaitu kepada hukum pemberian nafkah isteri dan anak, dan Syaikh Zainuddin al-Malibari tidak menggunakan dalil ayat al-Qur’an, tapi menyatakan secara tegas tentang kewajiban nafkah ushul dan furu’ dalam kitab Fathul al-Mu’in, imam al-Hishini menggunakan surat al-lahab untuk dalil nafakah ushul dan furu’. Dan sunnah-sunnah yang berkaitan dengan hukum pemberian nafkah keluarga yang terdapat dalam berbagai kitab fiqh dan buku-buku Islam. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Samarah Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Volume 1 No. 2. Juli-Desember 2017 ISSN 2549 – 3132; E-ISSN 2549 – 3167 Kewajiaban Nafkah Ushul Dan Furu’ Menurut Mazhab Syafi’i Tarmizi M Jakfar Fakhrurrazi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Email & fakhrurrazi Abstrak NafkahUshul dan Furu‟ merupakan salah satu problematika dalam ruang lingkup kekerabatan yang harus dipenuhi oleh orang tua terhadap anak. Dan kewajiban seorang anak yang memiliki kesanggupan terhadap hartanya. Dalam mazhab Syafi‟i menggunakan dalil ayat yang umum tentang nafkah Ushul dan Furu‟ yaitu surat al-Baqarah ayat 233 dengan cara meng istinbatkan hukum dengan jalan mengqiyaskan pada pemberian nafkah kepada istri dan anak, sebab dalil yang explisit tentang nafkah Ushul dan Furu‟ itu tidak ada dalil. Rumusan penelitian dalam skripsi ini adalah mengenai hukum pemberian nafkah Ushul dan Furu‟ serta bagaimanakah metode penetapan hukum mazhab Syafi‟i yang digunakan. Adapun penulis menggunakan jenis penelitian library research dengan mempelajari kitab-kitab, dan buku-buku yang berkaitan dengan penelitian dalam permasalahan nafkah dalam keluarga dan penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan membuat deskriptif secara sistematis dan akurat mengenai fenomena yang diteliti. Hasil dari penelitian ditemukan bahwa imam Syihabuddin al-„Abbas Ahmad al-Qalyubi, Syaikh Zainuddin al-Malibari dan imam Taqayuddin al-Hishininafkah Ushul dan Furu‟ yang disebutkan dalam kitab Hasyiatan Qalyubi-„Umairah, Fathul Mu‟in dan Kifātul Akhyār fĩ hāll Rāyatȗl Ikhtisār wajib diberikan nafkah oleh seseorang ayah terhadap anaknya, apabila anak tersebut fakir, kecil dan gila, dan kewajiban seorang anak untuk menafkahi orang tuanya apabila orang tua tersebut fakir dan gila. Dan apabila anak tersebut memilki kesanggupan terhadap harta yang di milikinya sekira-kira lebih dari kebutuhan hidupnya dari sehari semalam maka wajib memberi nafkah, seandainya seorang anak tidak memiliki harta karena dia miskin, maka tidak ada kewajiban apapun atas anak tersebut. Metode penetapan hukum mazhab Syafi‟i dalam hal ini adalah dengan jalan mengqiyaskan oleh imam al-Qalyubi kepada dalil al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 233 yaitu kepada hukum pemberian nafkah isteri dan anak, dan Syaikh Zainuddin al-Malibari tidak menggunakan dalil ayat al-Qur‟an, tapi menyatakan secara tegas tentang kewajiban nafkah Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furu’ Menurut Mazhab Syafi’i Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi ushul dan furu‟ dalam kitab Fathul al-Mu‟in, imam al-Hishini menggunakan surat al-lahab untuk dalil nafakah ushul dan furu‟. Dan sunnah-sunnah yang berkaitan dengan hukum pemberian nafkah keluarga yang terdapat dalam berbagai kitab fiqh dan buku-buku Islam. Kata kunci Nafkah Ushul, Furu’ Menurut Mazhab Syafi’i Pendahuluan Perkawinan merupakan suatu hal yang sakral bagi manusia yang perkawinan di antaranya ialah untuk membentuk sebuah keluarga yang harmonis yang dapat membentuk suasana bahagia menuju terwujudnya ketenangan dan kenyamanan bagi suami istri serta anggota keluarga. Perkawinan merupakan sunnnatullah yang umum dan berlaku kepada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan, dan perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan bagi makluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan Karena perkawinan itu dibuat dalam bentuk akad sebab ia peristiwa hukum, bukan peristiwa biologis atau semata hubungan kelamin antara laki-laki dan Namun setelah melangsungkan suatu perkawinan itu tidak boleh lupa dari kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi dalam sebuah keluarga, seperti saling menjaga antara suami dan isteri, saling menghormati, saling menyayangi satu sama lain, yang terlebih utama dalam membina rumah tangga setelah pernikahan yaitu tanggungan terhadap nafkah kepada isteri dan keluarga dari pihak adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, bantuan, dan seluruh kebutuhannya menurut tradisi, karna hukum nafkah adalah suatu kewajiban seorang suami terhadap isterinya dan Jumhur ulama sepakat mengenai kewajiban nafkah, namun mereka berbeda pendapat tentang empat permasalahan, yaitu waktu, kewajibannya, ukurannya, orang yang berhak menerimanya dan yang wajib menerimanya?. Penjelasannya sebagai berikut a. Menurut Imam Malik. 1 Tihami dkk, Fikih Munakahat, Jakarta RajaGrafindo Persada, 2010, hlm. 6. 2 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fikih, Jakarta Prenada Media, 2003, hlm. 74. 3 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Jakarta Pustaka Al-Kautsar, 2001, hlm. 383. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furu’ Menurut Mazhab Syafi’i Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi Bahwa ukuran nafkah tidak dibatasi dengan syari‟at, dan itu kembali kepada keadaan yang dialami oleh suami dan itu berbeda berdasarkan perbedaan tempat, waktu dan kondisi, dan pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Hanifah tentangkewajiban nafkah. b. Menurut Imam Syafi‟i. Berpendapat bahwa nafkah bisa di kira-kira, bagi orang yang memiliki kelapangan, dua mud, bagi orang sedang, satu setengan mud dan bagi orang yang mengalami juga nafkah wajib diberikan kepada istri dan keluarga serta kepada kerabatnya menurut kemampuan yang c. Menurut Imam Hanafi. Bahwa menwajibkan seseorang menafkahi sertiap semuhrim yang ada hubungan darah dengannya, yaitu para saudara, paman atau kerabat sebatas kecukupan, dalam hal ini imam Hanafi menyatakan tidak menjadi utang tentang nafkah kerabat, kecuali hakim memutuskan5. d. Menurut Imam Syafi‟i dan Imam Hanafi. Bahwa jumhur ulama, seperti imam Syafi‟i dan imam Hanafi telah menwajibkan atas nafkah kekerabatan apabila kekerabatan tersebut semuhrim, bahkan selain semuhrim tidak diwajibkan nafkah, karna imam Syafi‟i dan imam Hanafi mengambil dalil dari firman Allah SWT dengan surah Al-Nisa‟ 36 Surat Al-Nisa‟ 36   Artinya “sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang tua-bapa, karib-karibat,anak-anak yatim,orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetengga yang jauh, dan teman sejawat,ibnu sabil,dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri‟‟ Al-Nisa‟ 36. Namun mengenai nafkah ushul dan furu‟ tidak ada dalil atau ayat yang khusus, akan tetapi mazhab Syafi‟i meng-istinbatkandasar hukum 4 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid 2, terj. Abu Usamah Fakhtur Rokhman, Jakarta Pustaka Azzam , 2007, hlm. 107. 5 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga…, hlm. 431. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furu’ Menurut Mazhab Syafi’i Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi nafkah tersebut dalam kitab Hasyiah Qalyubi wa Humaira berdasarkan ayat Al-Qur‟an surah Al-Baqarah ayat          Artinya; Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi nafkah makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban keduanya ingin menyapih sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan Al-Baqarah Ayat Dalam hal ini jumhur menetapkan kewajiban akannafkah kepada kekerabatan atau keluarga. Tetapi dalam pemberian nafkah itu terutama sekali kepada istri dan anak, walaupun istri tersebut beriddah yang masih boleh dalam beberapa kitab Fiqh itu dibedakan selain nafkah istri dan anakyang wajib diberikan yaitu nafkah kepada orang tua, bapak, kakek, nenek, ibu dan seterusnya ke atas yang dikenal dengan istilah dalam kitab Fiqh disebut nafkah itu, juga wajib diberikan kepada anak, cucu dan seterusnya ke bawah, yang dengan kitab Fiqh disebut dengan nafkah furu‟.9 6 Qalyubi-„Umairah, Hasyitan„ala Syarh al-Mahalli „ala Minhājal-Thālibĩn Juzuk Keempat, Solo Manara Kudus, 1976, hlm 85. 7 Ihsan Sikhaq Muhammad, Qur‟an dan Terjemahan. Jakarta Cahaya Qur‟an, 2011, hlm. 37. 8 Syekh Abu Syuja‟, Matnul Ghayah Wat Tagrib,Cet. Kedua, terj. Mahmud Zaini, Jakarta Pustaka Amani, 2011, hlm. 104. 9 Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah…, hlm. 624. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furu’ Menurut Mazhab Syafi’i Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi Tetapi sekarang persoalan nafkah itu menjadi persoalan besar dalam kehidupan, sehingga banyak orang tidak memperdulikan tentang hak dan kewajiban memberi nafkah tersebut dalam keluarga, padahal dalam kitab-kitab Fiqh telah ditetapkan kewajiban bagi laki-laki yang mampu untuk memberikan nafkah kepada kerabatnya. Dasar Hukum Nafkah Ushul Dan Furu’ Secara Umum Dalam hal ini penulis menggambarkan hukum secara umum tentang nafakah ushul dan furu‟ yang telah disebutkan dalam kitab-kitab fiqh oleh mazhab Syafi‟i Persoalan tentang nafkah. Surat An-Nisa‟ 36.    Artinya “sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang tua-bapa, karib-karibat,anak-anak yatim,orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetengga yang jauh, dan teman sejawat,ibnu sabil,dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri‟‟ An-Nisa‟ 36 .10 Surat Al-baqarah ayat 233.          Artinya; Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi nafkah makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan 10 Fadhal AR Bafadal, dkk,Syamil Qur‟an dan terjemahanya, Bandung PT. Syaamil Cipta Media 2004,, hlm. 84. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furu’ Menurut Mazhab Syafi’i Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan Al-Baqarah Ayat 233.11 Surat ath-thalaaq ayat 7     Artinya Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memeberikan kelapangan setelah kesempitan.ath-Thalaaq ayat 712 Dari kesimpulan di atas mazhab Syafi‟i dan jumhur ulama lainya, yaitu imam Maliki, imam Hanafi dan imam Hambali mengambil beberapa ayat yang ada dalam surat al-Qur‟an yang menyangkut tentang nafkah secara umum kepada kerabat, dan hal ini terdapat di dalam kitab fiqh karangan Wahbah Az-Zuhaili yaitu fikih Islam Wa Adillatuhu jiliz 10, dan buku terjemahan dari fiqh karangan Abdul Majid Mahmud Mathlub, al-Wajiz fi Ahkam al-Usrah al-Islamiah. Hak dan Kewajiban dalam Nafkah Pengerian Nafkah merupakan belanja untuk hidup atau pendapatan suami yang harus diberikan kepada Nafkah juga merupakan kewajiban pokok bagi suami terhadap isteri yang harus diberikan baik berupa makanan, pakaian, maupun tempat tinggal bersama. Sebab nafkah tersebut kewajiban yang harus diberikan kepada orang yang berhak Karna nafkah adalah pemberian dari suami kepada isteri dan anak-anaknya sebagai tanggung jawab dalam keluarga. 1. Sebab-sebab yang mewajibkan nafkah a. Sebab keturunan. 11 Ihsan Sikhaq Muhammad, Qur‟an dan Terjemahan, hlm. 37. 12 Fadhal AR Bafadal, dkk,Syamil Qur‟an dan terjemahanya, hlm. 558. 13 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa IndonesiaPusat Bahasa, Edisi Keempat…,hlm 940 14 Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Minhajud Muslim…, hlm. 618. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furu’ Menurut Mazhab Syafi’i Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi Bapak atau ibu, berkewajiban untuk memberi nafkah kepada anaknya beserta kepada cucunya yang tidak mempunyai ayah lagi. b. Sebab pernikahan. Suami wajib memberi nafkah kepada isterinya yang taat, baik makanan, pakaian, tempat tinggal, perkakas rumah tangga dan lain-lain menurut keadaan dan tempat tinggal isterinya. c. Sebab milik. Seorang yang memiliki budak maka wajib memberikan makan tempat tinggal kepada budak tersebut, dan dia wajib menjaganya jangan sampai diberikan beban lebih dari Dalam hal nafkah fuqahapun sependapat bahwa nafkah itu wajib atas suami yang merdeka dan berada di tempat. Kemudian mereka berselih pendapat tentang hamba sahaya dan orang yang berpergian. Mengenai hamba sahaya, Ibnu Mundzir mengatakan bahwa para ahli ilmu yang menyampaikan riwayat kepadanya bahwa suami yang berstatus hamba sahaya wajib memberikan nafkah untuk isterinya, dan juga suami yang berpergian jauh, jumhur fuqaha berpendapat bahwa ia wajib memberi Syarat seorang isteri yang berhak menerima nafkah dalam hukum islam adalah sebagai berikut a. Akad nikahnya harus sah dan benar. b. Istri harus menyerahkan diri kepada suaminya. c. Istri memberi kesempatan kepada suaminya untuk menggaulinya d. Isteri tidak menolak jika suami mengajak pindah ke mana saja yang ia mau. e. Istri layak dan bisa digauli oleh suaminya itu. Dan apabila syarat-syarat terpenuhi di atas, maka suami berhak memberikan nafkah terhadap isterinya. Di mana tidak ada perbedaan pendapat mengenai masalah hak istri dalam menerima nafkah dari suaminya tersebut, kecuali hamba sahaya. Bahkan Allah SWT telah mewajibkan nafkah dengan firman-Nya di dalam al-Qur‟an dengan surat Al-Nisa ayat 5. 15 Sulaiman Rasjid, Figh Islam, Bandung Sinar Baru Algensindo, 2012, hlm. 421-422. 16 Ibnu Rusyd,Bidayatul Mujtahid 2, terj. Abu Usamah Fakhtur Rokhman, hlm. 522. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furu’ Menurut Mazhab Syafi’i Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi “ berikanlah mereka belanja dan pakaian dari hasil harta itu.” Al-Nisa‟ ayat 5. Demikian juga hadist Rasulullah, di mana beliau pernah memberikan izin kepada Hindun binti „Utsbah untuk mengabil harta suaminya, Abu Sofyan, untuk mencukupi kebutuhannya dan kebutuhan anak-anaknya dengan cara yang ma‟ruf. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw sebagai berikut   Artinya Diriwayadkan oleh Muwwiyah al-Qusyairi, dia berkata, “ saya berkata, „Wahai Rasulullah, apa hak isteri-isteri kami?‟ Maka Rasulullah SAW menjawab, „Kamu cukupi kebutuhan makannya jika makan, kamu cukupi kebutuhan pakaiannya jika kamu berpakaian atau jika kamu mendapatkan sesuatu. Jangan kamu memukul wajahnya, jangan mencelanya, jangan kamu meninggalkannya pisah ranjang kecuali di rumah. dari Abu Dawud, No Hadist 2141.17 Dalam hal pemberian nafkah menurut Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah yang diambil di dalam kitab Al-Musawi disebutkan bahwa memberi nafkah bagi suami kepada isterinya merupakan hal yang diwajibkan, baik dalam keadaan sulit maupun dalam keadaan Nafkah Ushul an Furu’ Menurut Kitab Hasyiatani Qalyubi-Umairah Kitab ini merupakan buah karya Syihabuddin Abu al-„Abbas Ahmad bin Salamah al-Qalyubi gelarnya yang dikenal dengan al-Qalyubi karena dinisbatkan kepada asal daerahnya yaitu Qalyub. Al-Qalyubi ulama yang mempunyai kemampuan dalam bidang fiqh dan ushul fiqh, dan al-Qalyubi karyanya banyak berbentuk hasyiah, al-Qalyubi lahir di Kota Qalyub di Negeri Mesir dan wafat W 1069 H. Salah satu kitab yang sangat dikenal di Indonesia adalah hasyiatan Qalyubi-„Umaira terhadap syarah al-Mahalli atas Minhāj al-Thalibĩn karya al-Nawawi yang banyak di pelajari pada dayah-dayah di Indonesia, karena hasyiatan al-Qalyubi lebih banyak mengandung isi penjelasan, beliau banyak mengumpulkan keterangan-keterangan dari berbagai kitab hasyiah yang lain. Dan karya-karya lain al-Qalyubi yaitu 17 Muhammad Nashiruddin al-Abani, terj. Tajuddin Arief, Shahih Sunan Abu Dawud, Jakarta Pustaka Azzam, 2006, hlm. 828. 18 Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Figh Wanita, Jakarta Pustaka Al-Kausar, 2008, hlm. 480-481. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furu’ Menurut Mazhab Syafi’i Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi Hasyiah „ala Syarh al-Jurumiyah, Hasyiah Syarh Thāhir, Majmu‟ al-Muhibbĩn, Tazkirah al-Qalyubi, Hasyiatan al-Qalyubi dari Mahalli. 19 Adapun ketentuan mengenai pemberian nafkah ushul dan furu‟ menurut al-Qalyubi yaitu Seorang anak mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah kepada orang tuanya yaitu ayah dan ibunya baik ia anak laki-laki atau perempuan. Apabila anak laki-laki yang sudah menikah di samping ia menafkahi isteri dan anaknya, ia juga diharuskan untuk menafkahi kedua orang tua selama mereka masih hidup. Memang pada dasarnya tidak ada dalil al-Qur‟an maupun hadist yang menyebutkan secara explisit tentang kewajiban menafkahi ayah atau ibu. Akan tetapi Imam al-Qalyubi dengan cara mengqiyaskan dasar hukum kewajiban pemberian nafkah kepada istri dan anak, dan kewajiban seorang anak memberi nafkah kepada ayah dan ibunya dari Surat al-Baqarah ayat 233 seperti tercantum dalam kitab hasyiatan Qalyubi-„Umairah di bawah ini    Artinya kewajiban bagi seorang anak laki-laki atau anak perempuan wajib memberi nafakah kepada ayah dan ibunya sampai seterusnya ke atas, dan kewajiban seorang ayah dan ibu juga wajib memeberikan nafakah kepada anaknya sampai seterusnya ke bawah. Berdasarkan surat al-Baqarah 233 yang artinya “ dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma‟ruf. Dan diqiyaskan pada yang pertama tentang memberi nafkah kepada orang tua, karena nafkah kepada orang tua itu lebih aula. Berdasarkan surat al-Baqarah ayat 233 tersebut di atas, imam al-Qalyubi mengqiyaskan hukum pemberian nafkah kepada istri dan anak, apabila seseorang ayah berkewajiban memberi nafkah kepada anak, maka dia seorang anak juga wajib memberi nafkah kepada ayah dan ibunya dengan „illah ada hubungan antara anak dan ayah yaitu, anak bagian dari pada ayah dan ayah bagian dari pada anak. Bahkan memberi nafkah kepada ayah dan ibu lebih diutamakan, karena menjaga kehormatan ayah 19 Muhammad Abdul Wahab, Rumah Figh Indonesia, diakses dari situs http //rumahFigh net/Maktabah, Hasyiah-Qalyubi wa Humairah. pada tanggal 23 Desember 2016. Jam 930 Wib. 20 Qalyubi-„Umairah, Hasyiatan „ala Syarh al-Mahalli „ala Minhāj al-Ťhalibĩn Juzuk Keempat, Solo Manara Kudus, 1976, hlm 85 Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furu’ Menurut Mazhab Syafi’i Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi itu lebih mulia daripada anak qiyās ini dinamakan qiyās aulawi dan seorang anak lebih bersungguh-sungguh menjaga kehormatan ayah. Qiyas menurut istilah ilmu ushul fiqh yaitu mempersamakan suatu kasus yang tidak ada dalam nash dan dalil hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash/dalil hukumnya. Qiyas merupakan suatu metode dalam menerangkan hukum yang tidak ada nashnya dalam al-Qur‟an dan hadist dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Dimana qiyas itu merupakan cara yang ke empat dalam hukum, setelah al-Qur‟an, Hadist, dan Ijmak. Apabila ada suatu kasus yang tidak terdapat dalil dalam al-Qur‟an, Hadist, dan Ijmak, maka kasus tersebut harus diproses dengan jalan qiyas dengan menyamakan kasus tersebut dengan kasus yang sudah ada nashnya berdasarkan atas persamaan „illah nya. Qiyas dapat menjadi pondasi atau pijakan sebuah hukum. Adapun rukun-rukun qiyas ada empat 4 yaitu 1. Al-Ashl yaitu suatu hukum yang ada nashnya/hukumnya, atau biasa juga disebut juga dengan kata al-Māqis „alāih yang diqiyaskan kepadanya dan al-Mahmȗl alaih yang dijadikan pertanggungan dan Musyabbah bih yang diserupakan dengannya. 2. Al-Far‟u‟yaitu suatu yang tidak ada nash/dalilnya, disebut dengan al-Māqis yang diqiyaskan al-Mahmȗl yang dipertanggungkan dan al-Musyabbah bih yang diserupakan dengannya. 3. Hukum ashl yaitu hukum yang telah ada nashnya dan dijadikan sebagai hukum pada furu‟ 4. Al-„Illah yaitu suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok dan berdasarkan sifat itu terjadinya hukum pada cabang, maka disamakan dengan pokok ashal dari segi hukumnya. Dari penjelasan qiyas tersebut diatas, maka hukum menafkahi ayah dan ibu selain dari nafkah anak beserta isteri dapat disimpulkan bahwa 1. Al-Ashl yaitu nafkah yang harus diberikan kepada isteri dan anak 2. Al-Far‟u yaitu nafkah yang harus diberikan kepada ayah dan ibu 3. „Illah anak adalah keturunan dari ayah.21 Nafkah Ushul Dan Furu’ Menurut Kitab Fathul al-Mu’in Kitab ini merupakan buah karya Syaikh Zainuddin al-Malibary. Nama lengkap beliau asy-Syaikh Zainuddin Ibnusy Syaikh Abdul Aziz al-„Salamah asy-Syeikh Zainuddin Muallif Hidāyah al- Azdkiya‟ Il‟a 21 Abdul Wahhab Kallaf, Ilmu Ushul Figh, Semarang Dina Utama, 1994, hlm. 65-66. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furu’ Menurut Mazhab Syafi’i Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi Thariqil Aulia‟ Ibnusy Syaikh Ali Ibnu Syaikhi Acmad asy-Syafi‟i al-Malibary Zainuddin al-Malibari merupakan ulama yang dilahirkan di Kosyan daerah Malabar Pakistan, India Selatan. Tidak diketahui secara persis, kapan Syaikh Zainuddin al-Malibari lahir. Bahkan tentang taggal dan tahun wafatnya pun muncul berbagai pendapat. Beliau diperkirakan meninggal dunia sekitar tahun 970-990 H, dan di makamkan di pinggiran kota Ponani, India. Tepatnya terletak di samping masjid Agung Ponani. Beliau adalah cucu dari Syaikh Zainuddin bin Ali pengarang kitab Hidāyah al-Adzkiya', Syaikh Zainuddin al-Malibari telah terdidik oleh keluarga agamis, selain sekolah di al-Madrasah yang didirikan oleh kakek beliau. Dan Syaikh Zainuddin al-Malibari berguru kepada beberapa Ulama Arab, termasuknya adalah Ibnu Hajar al-Haitami wafat pada tahun 974 H. Karangan-karangan Syaikh al-Malibari adalah Al Isti‟dad lil Maut Wa su‟al al-Qubur Aqidah, Qurrah al-„Aĩn bi Muhimmati ad-din Fiqh, kitab matan Fathul Mu‟in, Fathul Mu‟in fi Syarh qurrah al-„Aĩn Fiqh, yang dikomentari oleh Syaikh Sayyid Muhammad Syatha‟ Ad Dimyati dengan nama kitab I‟ānah al-Ťhalibĩn. Syeikh Zainuddin al-Malibari dikenal sebagai ulama fikih yang mengikuti madzhab Syafi' Adapun ketentuan mengenai nafkah ushul dan furu‟ yang terdapat dalam kitab Fathul al-Mu‟in menurut Syaikh Zainuddin al-Malibari adalah nafkah segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, bantuan, dan seluruh kebutuhannya menurut tradisi. Hubungan kekerabatan adalah penyebab diwajibkannya memberi nafkah antara kerabat. Hubungan kekerabatan yang mewajibkan nafkah ada dua macam yaitu kekerabatan antara ushȗl dan al-far‟u‟. Maksud ushȗl di sini adalah seluruh orang tua, dimulai dari para bapak, ibu, kakek, nenek, buyut dan sterusnya ke atas. Maksud al- far‟u disini adalah para anak, cucu, dan seterusnya ke  Untuk lebih jelas penulis mengutip penjelasan di dalam kitab Fathul al-Mu‟in sebagai berikut 22 Aliy As‟ad, Terjemahan Fathul Mu‟in, Jilid 1, Kudus Manara Kudus, 1400 H/1980 M, hlm XIX. 23 Inu Kencana Syafie, Ensiklopedia Manusia Terpopuler, Memuat lebih Dari Tokoh Dunia Terkemuka, Cet. Pertama, Bandung Pustaka Reka Cipta, 2011, hlm 1023. 24 Abdul Majid Mahmud Mathlub, Al-Wajiz fĩ Ahkam Al-Usrah Al-Islamiyah, Harit Fadly dan Ahmad Khotib Tej, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, Era Intermedia, 2005, hlm. 616-617. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furu’ Menurut Mazhab Syafi’i Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi  Artinya kewajiban anak laki-laki ataupun perempuan apabila mempunyai kekayaan walaupun dari hasil kerja ia dapatkan, yang telah melebihi dari biaya hidup dirinya sendiri dan orang tanggungannya selama sehari semalam, walaupun belum lebih dari perhitungan tanggungan hutangnya adalah wajib baginya untuk mencukupi kebutuhan pakaian, makanan dan obat-obatan kepada orang tuanya keatas, baik laki-laki maupun perempuan dengan demikian pun orang keturunannya hingga ke ke bawah, bilamana dua macam ini tidak memilki kecukupan dalamhal tersebut, maka sekalipun orang tua atau keturunannya itu berbeda agama. Dan tidak menjadi wajib atau hilangnya kewajiban untuk memberi nafkah, apabila salah seorang tua atau keturunannya murtad, dalam syarah al-Irsyad, juga tidak diwajibkan jika ia berbuat zina muhsan atau meninggalkan shalat. Di dalam syarah al-Minhaj juga menyatakan tidak wajib, orang keturunan itu telah mencapai usia baliq dan tidak mau bekerja yang patut bagi dirinya. Menurut Syaikh Zainuddin, barang siapa yang masih memiliki orang tua dan keturunan, maka nafkah orang tua menjadi tanggungan dari pada keturunannya kebawah. Dan jika seseorang masih mempunyai ayah dan ibu atau saudara yang membutuhkan nafkah, sedangkan ia sendiri tidak mampu untuk mencukupi semua, maka ia boleh untuk mendahulukan dirinya sendiri, isteri dan Selain itu, kerabat yang diwajibkan untuk dinafkahi adalah kerabat yang diharamkan menikah senasab. Jadi, diwajibkan nafkah antara kerabat apabila mereka mempunyai hubungan senasab, sedangkan yang tidak senasab tidak diwajibkan untuk memberikan nafkah. Nafkah Ushul dan Furu’ Menurut Kitab Kifātul al-Akhyār Kitab ini merupakan buah karya Abu Bakar bin 'Abdul Muhammad bin Mu‟min Hariz Bin Ma‟alla at-Taqiy al-Husaini al-Hishni. Beliau yang lebih dikenal sebagai Imam Taqiyuddin al-Hishni adalah seorang ulama besar dan ahli sufi bermazhab Syafi`i serta berpegang kepada i'tiqad Imam Abul Hasan 'Ali al-Asy'ari. Beliau 25 Syaikh Zainuddin, Fathul Mu‟in, Jilid. 3, Aliy As‟ad Tej, Menara Kudus, 1979, hlm. 242-244. 26 Aliy As‟ad, Tej Fathul al-Mu‟in, Kudus Manara Kudus, 1979, hlm. 242. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furu’ Menurut Mazhab Syafi’i Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi dilahirkan dalam tahun 752 H di Kota al-Hishn dalam negeri Syam kemudian berpindah ke Kota Dimasyq di mana beliau meneruskan pengajiannya, Di antara guru-gurunya ialah Syaikh Abul 'Abbas Najmuddin Ahmad bin 'Utsman bin 'Isa al-Jaabi, Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Sulaiman ash-Sharkhadi, Syaikh Syarafuddin Mahmud bin Muhammad bin Ahmad al-Bakri, Syaikh Syihaabuddin Ahmad bin Shaleh az-Zuhri, Syaikh Badruddin Muhammad bin Ahmad bin 'Isa, Syaikh Syarafuddin 'Isa bin 'Utsman bin 'Isa al-Ghazi, Syaikh Shadruddin Sulaiman bin Yusuf al-Yaasufi. Karya-karya imam Taqiyuddin al-Hishini, Syārh Asmaullāh al-Hȗsnā, Ta'lĩq al-Hādits al-Ihyā, Syārh an-Nihāyāh, Talkhĩsh al-Mȗhimmāat 2 jilid, Qami`un Nufȗus, al-Asbāabul Muhliāat dan kifātul Akhyār fĩ hāll Rāyatȗl ḭkhtisār. Beliau terkenal bukan saja kerana ketinggian ilmunya, bahkan kerana kewaliannya, dan beliau wafat pada tahun 829 H dan dikebumikan di Dimasq..27 Adapun ketentuan mengenai nafkah ushul dan furu‟ yang terdapat dalam kitab Kifatul al-Akhyar menurut imam al-Hishini adalah nafkah seorang anak kepada orang tuanya merupakan wajib dipenuhi oleh anaknya apabila seorang anak tersebut mempunyai kemampuan terhadap harta yang dia milki. Adapun yang menjadi pijakan hukum yang terdapat dalam kitab kifātul Akhyār fĩ hālli Rāyatȗl ḭkhtisār di bawah ini . .      .   .Dari penjelasan tersebut di atas, maka dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut 27 Syaikh Muhammad Sa‟id Mursi Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta Pustaka Al-Kautsar, 2008, hlm. 238. 28 Taqayuddin al-Hishini, Kifātul Akhyār fĩ hālli Rāyatȗl ḭkhtisār, KH. Syarifuddin Anwar dan KH. Mishbah Musthafa Tej, Surabaya Bina Iman, 2008, hlm. 79-80. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furu’ Menurut Mazhab Syafi’i Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi Nafkah terhadap keluarga itu wajib bagi orang tua dan anak-anaknya, maka kewajiban orang tua untuk nafkah dalam keluarganya dengan dua syarat, pertama fakir dan kedua gila, dan kewajiban bagi seorang anak dalam nafkah mereka dengan syarat pertama fakir, kedua masih kecil, dan ketiga gila. Dan kata-kata nafkah di ambil dari kata infaq dan ihkraj penguluaran, maka diwajibkan memberi nafkah dengan tiga sebab yaitu persaudaraan, kepemilikan dan suami istri, maka dua sebab yang terakhir diwajibkan terhadap nafkah yaitu hak kepemilikan atas pemilik, hak istri atas suami dan sebaliknya, dan adapun sebab yang pertama, yaitu keluarga, maka kewajiban bagi tiap-tiap kerabat atau persaudaraan hingga sampai ke atas yang lain yaitu anak karena kerabat itu sebagian dari pada keluarga, dengan demikian wajiblah memberi nafkah atas kerabat, karena ada hubungan itu semua antara ushul dan far‟u, maka wajiblah bagi orang tua menafkahi terhadap anaknya hingga terus ke atas, dan kewajiban seorang anak menafkahi orang tua hingga terus ke bawah, dan tidak ada beda antara laki-laki dan perempuan, dan antara pewaris dan selainnya, dan tidak ada beda bagi seagama atau sebeda agama. berdasarkan firman Allah dalam Surat al-Lahab ayat ke 2 dengan artinya sebagai berikut “Tidaklah berfaedah berguna kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan”. Kewajiban memberi nafkah untuk ayah ada beberapa syarat diantaranya, seorang anak memilki kesanggupan terhadap harta yang di milikinya sekira-kira lebih dari kebutuhan hidupnya dari sehari semalam, seandainya seorang tidak memiki harta karena dia miskin, maka tidak ada kewajiban apapun atas anak tersebut. Far‟u adalah anak seseorang, anak-anaknya cucunya, dan seterusnya ke bawah, baik mereka laki-laki atau perempuan. Mereka dikatakan furu‟ karena bercabang dari bapak. Dialah penyebab keberadaan mereka di alam dunia dan mereka adalah bagian darinya. Tanpa diragukan lagi, bahwa di antara mereka terdapat hubungan kekerabatan yang kuat disebabkan oleh pembagian tersebut. Sedangkan maksud dari ushul di sini adalah asal manusia, baik laki-laki atau perempuan, seperti bapak, kakek dan seterusnya ke atas; ibu, nenek, dan seterusnya ke atas. Mereka berhak mendapatkan nafkah berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dalilnya adalah firman Allah SWT, Dan pergaulilah mereka berdua orang tua di dunia dengan baik. Termasuk kebaikan bila sang anak menyediakan kebutuhan kedua orang tuanya saat diperlukan. Diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki datang kepala Nabi Muhammad Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furu’ Menurut Mazhab Syafi’i Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi Saw. Seraya berkata, “aku memiliki harta dan orang tuaku memerlukannya.” Beliau pun bersabda, kau dan hartamu adalah milik orang tuamu. Sesungguhnya anak-anak kalian adalah penghasilan terbaik kalian maka makanlah dari penghasilan anak-anak kalian. Menurut para ulama Mazhab Syafi‟i seperti yang telah diuraikan di atas, mereka berpendapat bahwa nafkah kepada orang tua adalah wajib diberikan oleh seorang anak, baik anak laki-laki maupun perempuan dan jika mereka mempunyai harta hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan anak serta isterinya, maka didahulukan nafkah mereka terlebih dahulu, dan tidak menjadi wajib bagi mereka untuk menafkahi orang tua mereka. Adapun yang menjadi dasar hukum dari ulama Mazhab Syafi‟i seperti Imam Syihabuddin Abu al-„Abbas Ahmad al-Qalyubi, dengan melakukan metode istanbat qiyas terhadap dalil al-Qur‟an yaitu surat al-Baqarah ayat 233, Syaikh Zainuddin al-Malibari menyatakan secara jelas tentang kewajiban atas nafkah ushul dan furu‟ dalam kitab Fathul al-Mu‟in dan beliau tidak menggunakan dalil ayat al-Qur‟an, dan imam Taqayuddin al-Hishini dalam kitab Kifatul al-Akhyar wajib memberi nafkah ushul dan furu‟ berdasarkan dalil ayat al-Qur‟an surat al-Lahab. Karena dalam ayat al- Qur‟an surat 233 yang di gunakan tersebut dijelaskan bahwa seorang ayah mempunyai kewajiban untuk menafkahi ibu dan anak-anaknya. Menurut para ulama mazhab Syafi‟i tersebut jika ayah mempunyai kewajiban menafkahi isteri dan anak, serta ibu yang melahirkan, tentunya diantara ayah dan ibu mempunyai keterkaitan yang erat dengan anak. Maka oleh karena itu, sudah sewajarnya anak juga mempunyai kewajiban untuk menafkahi kedua orang tuanya, ketika ia sudah mampu serta mempunyai kelebihan harta dalam menafkahi dirinya sendiri, isteri dan anaknya. Selain itu juga ada beberapa pendapat terkait nafkah kerabat menurut Mazhab Hambali, dan Mazhab Maliki yang juga membahas kewajiban seseorang baik laki-laki maupun peremuan dalam menafkahi kerabat-kerabatnya, terutama kedua orang tuanya, setelah memenuhi nafkah dirinya sendiri, isteri dan anaknya terlebih dahulu. Adapun beberapa pendapat tersebut di antaranya sebagai berikut 1. Kekerabatan yang diwajibkan memberi nafkah adalah kerabat secara mutlak yang langsung atau tidak. Jadi, diwajibkan bernafkah atas ushul tehadap al-far‟u dan begitu pula sebaliknya. Karena para kakek adalah juga para bapak, dan para cucu juga para anak, sehingga mereka tergolong dalam keumuman nash yang mewajibkan nafkah bapak dan anak, yaitu nash-nash yang telah disebutkan pada Mazhab Syafi‟i. 2. Kekerabatan yang diwajibkan bernafkah adalah kerabat yang diharamkan menikah muhrim. Jadi diwajibkan nafkah antara Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furu’ Menurut Mazhab Syafi’i Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi kerabat apabila mereka semuhrim, sedangkan selain muhrim tidak diwajibkan nafkah. Ini adalah Mazhab Hanafi yang lebih luas daripada Mazhab Syafi‟i. Dalil mereka adalah firman Allah SWT, Sembahlah Allah SWT dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat Al-Nisa‟36 dan firman Nya, “Dan berikanlan kerabat itu haknya” Al-Isra‟26, serta sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari sebagai berikut  Artinya “Dari Abi Hurairah, datang seorang laki-laki, dan bertanya,,! Wahai Rasulullah, siapakah yang paling patut dipatuhi?” beliau bersabda, “ibumu”. Aku berkata, “lalu siapa?” Beliau bersabda, “Ibumu”. Aku berkata, “lalu siapa?” Beliau bersabda, “Ibumu”. Aku berkata, “lalu siapa?” Beliau bersabda, “Bapakmu, kemudian kerabat terdekat”. Bukhari29 Allah telah memberikan hak kepada kerabat, memerintahkan untuk memberikannya dan memosisikannya setelah hak kedua orang tua. Itu menunjukkan tentang kewajiban bernafkah untuk kerabat meskipun hubungan kekerabatannya bukan kerabat kelahiran. Mazhab Hanafi beralasan tentang pembatasan kekerabatan dengan muhrim karena telah diriwayatkan dari Abdullah bin Ibnu Mas‟ud bahwa ketika ia membaca ayat, Wa „alla al-waritsi mitslu dzalik dengan menambahkan dzu ar-rahim al-muhrim kerabat semuhrim. Qiraat itu disebutkan sebagai penjelasan qiraat mutawatir, dan ia telah diriwayatkan secara makruf, sehingga ia dapat dijadikan pembatas bagi nash. 3. Kerabat yang diwajibkan bernafkah adalah kerabat pewaris, baik secara wajib atau „keturunannya, maka diwajibkan memberikan nafkah ushul terhadap furu‟‟, begitu pula sebaliknya. Sebagaimana diwajibkan atas semua kerabat, baik mereka itu muhrim atau bukan, selama mereka sebagai pewaris secara wajib atau „ashabah, seperti para saudara laki-laki, paman dari bapak dan anak-anaknya. Ini adalah pendapat Mahzab Hambali yang 29Ahmad bin Muhammad Al-Qasthalni, terj. Abu Nabil, Syarah Shahih Bukhari/JawahirAl-Bukhari wa Syarh Al-Qasthalni, Solo Zamzam, 2014, hlm. 45. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furu’ Menurut Mazhab Syafi’i Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi lebih luas daripada Mazhab Hanafi, karena ia tidak mensyaratkan kemuhriman dalam kewajiban bernafkah sebagaimana yang disyaratkan oleh Mazhab Hanafi. Karena itu, menurut Mazhab Hambali, seorang anak wajib bernafkah kepada anak laki-laki pamannya dari bapak karena ia pewaris. Sedangkan menurut Mazhab Hanafi tidak wajib karena ia bukan muhrim. Alasan Mazhab Hambali adalah firman Allah, Dan pewaris pun berkewajiban demikian. Allah SWT telah menggantungkan kewajiban bernafkah dengan pewaris tanpa perbedaan apakah ia muhrim atau tidak maka atas dasar hal ini diketahui bahwa kerabat yang diwajibkan bernafkah adalah kerabat pewaris yang memiliki harta. Karena, kerabat pewaris itu lebih berhak atas harta yang diwarisi daripada orang selainnya maka ketika mengkhususkan untuknya kewajiban bernafkah daripada orang selainnya adalah sebuah keadilan. Demikianlah pendapat-pendapat fuqaha tentang kerabat yang diwajibkan bernafkah. Pendapat yang digunakan sampai sekarang adalah pendapat Mazhab Hanafi, bahwa ia diwajibkan untuk memberikan nafkah kelurga semuhrim, mereka disebut dengan „sisipan‟ al-hawasyi. 4. Nafkah kerabat itu secukupnya. Karena, nafkah mereka demi menutupi kebutuhan dan kebutuhan itu ditutupi dengan secukupnya. Begitu pulu nafkah anak atas orang tuanya itu secukupnya, kecuali jika sang bapak lapang rezekinya maka nafkahnya sesuai dengan keputusan hakirm. 5. Nafkah ushul dan furu‟ diwajibkan saat terbukti bahwa mereka membutuhkannya, tanpa bergantung atas keputusan hakim. Sedang nafkah orang selain mereka bergantung atas keputusan hakim. Atas dasar ini, apabila seseorang memiliki harta yang dikhususkan untuk nafkah maka bapak atau anaknya yang berhak dinafkahi boleh mengambil sebagian dari secukupnya, tanpa mengajukannya kepada hakim. Sedangkan saudaranya yang berhak mendapat nafkahnya hanya boleh mengambil harta tersebut seizinnya atau atas keputusan Para ulama telah sepakat ijmak, bahwa nafkah kedua orang tua fakir yang tidak berharta atau tidak berpenghasilan itu wajib dikeluarkan dari harta sang anak. Hal ini dianalogikan dengan nafkah anak yang wajib dikeluarkan sang bapak, karena penghormatan kepada orang tua itu lebih mulia. Apabila sang anak tidak berpenghasilan maka ia tidak wajib 30 Abdul Majid Mahmud Hukum Keluarga Sakinah,,,, hlm. 618-631. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furu’ Menurut Mazhab Syafi’i Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi menafkahi orang tuanya. Tapi, dirinya sendiri memerlukan seseorang untuk menafkahirnya dan kewajiban nafkah bagi orang tuanya adalah saudaranya yang wajib menafkahi mereka. Apabila tidak ada orang lain yang wajib menafkahi mereka maka urusan tersebut diserahkan kepada kas Negara baitulmal. Nafkah anak-anak lebih diutamakan daripada nafkah orang tua. Apabila seseorang memiliki harta lebih yang hanya dapat memenuhi kebutuhan salah satu dari orang tua atau anaknya maka kebutuhan seorang anak lebih diutamakan. Perlu diperhatikan, bila anak-anak tersebut berjumlah banyak maka kewajiban nafkah tersebut diperuntukkan mereka yang lebih dekat hubungan kekerabatannya. Kesimpulan 1. Menurut imam Syihabuddin al-„Abbas Ahmad atau yang lebih dikenal dengan sebutan al-Qalyubi bahwa setiap anak baik anak laki-laki maupun perempuan mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah kepada ayah dan ibunya. Berdasarkan surat al-Baqarah ayat 233 tersebut di atas, al-Qalyubi mengqiyaskan bahwa apabila seseorang ayah berkewajiban memberi nafkah kepada anak, maka dia seorang anak juga wajib memberi nafkah kepada ayah dan ibunya dengan 'Illah alasan ada hubungan antara anak dan ayah yaitu, anak keturunan dari ayah. 2. Menurut Syaikh Zainuddin al-Malibari, barang siapa yang masih memiliki orang tua dan keturunan, maka nafkah orang tua menjadi tanggungan dari keturunannya ke bawah. Dan jika seseorang masih mempunyai orang tua ayah atau ibu dan saudaranya yang membutuhkan nafkah tersebut, sedangkan ia sendiri tidak mampu untuk mencukupi semua, maka ia berhak mendahulukan dirinya sendiri, isteri dan anaknya. 3. Menurut imam Taqayuddin al-Hishini Nafkah terhadap keluarga itu wajib bagi orang tua dan anak-anaknya, maka kewajiban orang tua untuk menafkahkan keluarganya dengan dua syarat, pertama fakir dan kedua gila, dan adapun kewajiban bagi seorang anak untuk nafkah mereka dengan syarat pertama fakir kedua masih kecil dan ketiga gila. Dengan demikian memberi nafkah atas kerabat itu wajib apabila ada hubungan persaudaraan yang dinamakan ushul dan far‟u, maka wajiblah bagi orang tua menafkahi anaknya hingga terus ke atas, dan kewajiban seorang anak menafkahi orang tua hingga terus ke bawah, dan tidak ada beda antara laki-laki dan perempuan, dan antara pewaris dan selainnya, dan tidak ada beda bagi seagama atau beda agama. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furu’ Menurut Mazhab Syafi’i Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi Berdasarkan firman Allah SWT dalam Surat al-Lahab ayat 2. Kewajiban memberi nafkah untuk ayah ada beberapa syarat di antaranya, seorang anak memilki kesanggupan terhadap harta yang di milikinya sekira-kira lebih dari kebutuhan hidupnya sehari semalam, seandainya seseorang tidak memiliki harta karena dia miskin, maka tidak ada kewajiban apapun atas anak tersebut. Daftar Kepustakaan Abdul Aziz al-Fauzan, Fiqih Sosial,Cetakan Pertama Jakarta Qisthi Press, Anggota Ikapi, 2007. Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Minhajud Muslim, Jakarta DarulFikr, Bairut 2000 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Cetakan keempat, Jakarta Kencana Prenada Media Group, 2010.. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fikih, Jakarta Prenada Media, 2003. Amir Syafifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta Kencana Prenada Media Group, 2011. Bangbang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta PT Raja Grafindo Persada 1997. H. A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam Indonesia, Cet. II,Banda Aceh Yayasan PeNA 2005. Tihami dkk, Fikih Munakahat, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2010. IbnuRusyd Penerjemah, Abu Usamah Fakhtur Rokhman, Bidayatul Mujtahid 2, Jakarta PustakaAzzam 2007 Imam AbiZakariaYahya, Minhajuth al-Thalibin, Al-Mahalli juzuk 4, Solo Manara Kudus, 1975 Imam Al-Alusi Al-Bagdadi, Ruhul Ma‟ani fi Tafsiral-Qur‟an, Juz Ke 2,Terj. Syihabuddin Mahmud, KairoDar Al-Hadist, 2005, Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet. 8, Jakarta Balai Pustaka, 1989. M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Dalam Berumah Tangga, Jakarta Prenada Media, 2003. Mumahmad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, Jakarta PT Raja Grafindo Persada 2004. Saiful Amir Ghafur, Profil Para Mufassir Al-Qur‟an, Yogyakarta Pustaka Insan Madani, 2008. Syaikh Abu Syuja‟, Penerjemah Mahmud Zaini, Matnul Ghayah Wat Tagrib, Jakarta Pustaka Amani, cet 2, 2011. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furu’ Menurut Mazhab Syafi’i Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, Jakarta Pustaka Al-Kausar, 2008 Syaikh Mahmud al-Mashri, Perkawinan Idaman, Jakarta Qisthi Press, 2010. Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Jakarta Pustaka Al-Kautsar, 2001. Syaikh Zainuddin, Fathul Mu‟in ,Jilid. 3, AliyAs‟ad Tej, Menara Kudus, 1979. Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, cetakan kesepuluh, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta Gema Insani, 2007. Adri LatifMuhammad Arief Ridha RosyadiAhmad Rezy MeidinaPemberian inafkah ipasca iperceraian iterhadap iistri idan ianak isering ikali idiabaikan idan iditinggalkan ioleh imantan ianaggapan ibahwa iputusan ipengadilan ihanya iproduk ihukum iNegara isehingga itidak imemiliki ikonsekuensiiterhadap iTuhan imenjadi isalah isatu ifaktornya. iPemahaman iini iperlu idiluruskan. iTulisan iini iberupaya iuntukimemberikan ikesadaran ikepada imasyarakat, ibahwa ikewajiban imemberikan inafkah ipasca iperceraian ibagi iistri idan ianakitidak idapat iditinggalkan iserta imerta ioleh imantan isuami itanpa iadanya ialasan iyang idapat idijadikan isebagai iillatihukum. iAdanya itulisan iini ibertujuan iuntuk imemberikan ipenjelasan iterperinci iterhadap ijaminan ikesejahteraan iistri idanianak iyang idiamanahkan imelalui ifirman iTuhan. iPenelitian iini ibersifat ideskriptif idengan imenggunakanipendekatan iYuridis-Normatif. iHasil ipenelitian iini iadalah itidak iadanya icelah iuntuk imengingkari iputusan ihakim iterkaitipenetapan ipemberian inafkah ipasca iperceraian. iHakim isebagai iwakil iTuhan idi imuka ibumi idan iputusannya idapatidimaknai isebagai iketentuan idemi iterwujudnya ikemaslahatan iummat iharus Wahyudani Muhammad RidwansyahAbstrak Filosofis nafkah yang semulanya menjadi kewajiban suami memberi nafkah kepada istri, anak-anak, dan kerabat menjadi terbalik ketika pandemi covid-19 melanda masyarakat Indonesia. Alquran surah Albaqarah ayat 233 dan KHI dalam hal yang sama membebankan nafkah kepada suami tetapi karena situasi ekonomi yang semakin semerawut dan resesi mengakibatkan produk domestik bruto menurun. Artinya ada banyak suami-suami kehilangan pekerjaan akibat wabah ini. Metodologi yang digunakan adalah yuridis-sosiologis. Hasil penelitian sebagai berikut bahwa dalam Albaqarah mewajibkan seorang suami memberikan nafkah kepada istri tetapi konteks lain, seorang istri atau anggota keluarga lain dapat berperan dalam menjaga ketahanan keluarga di masa pandemi ketahanan pandemi covid-19. Kemudian, Pasal 83 KHI menjelaskan seorang istri hanya berkewajiban utama berbakti lahir dan batin, makna berbakti boleh saja diinterpretasikan sebagai bentuk pembantuan atau meringankan sebagian tugas suami dalam hal nafkah ketika seorang istri dalam kategori mampu dan tidak ada unsur pemaksaan. Abstract The philosophy of living, which was originally the husband's obligation to provide for his wife, children, and relatives, was reversed when the Covid-19 pandemic hit the people of Indonesia. Albaqarah verse 233 and KHI Compilation of Islamic Law are imposes a living burden on the husband, but due to the increasingly chaotic economic situation and recession, the gross domestic product decreases. This means that many husbands have lost their jobs due to this epidemic. The methodology used is juridical-sociological. The results Albaqarah requires a husband to provide a living, but in another context, a wife or other family members can. Then, the KHI explains that a wife has only the main obligation to serve physically and mentally, the meaning of filial piety may be interpreted as a form of assistance or easing some of the husband's duties in terms of UngelRispalman RispalmanTaufiq HidayatPenelitian ini dilatar belakangi oleh sebuah permasalahan rumah tangga dimana suami tidak menunaikan kewajibannya memberi nafkah kepada istri selama proses perceraian berlangsung hingga istri terhalang untuk mendapatkan hak yang semestinya diterimanya. Seharusnya, nafkah harus terus diberikan oleh suami kepada istrinya hingga resmi putusnya perceraian di depan Pengadilan. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua persoalan pokok, yaitu apa saja yang menjadi faktor pengabaian nafkah dalam proses perceraian dan bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pengabaian nafkah dalam proeses perceraian. Untuk memperoleh jawaban dari persoalan tersebut, Peneliti menggunakan metode penelitian lapangan field research, dengan pendekatan kualitatif dan dianalisis menggunakan analisis deskriftif. Berdasarkan kajian dan penelaahan yang peneliti lakukan, setidaknya ada 5 faktor yang menjadi penyebab terjadinya pengabaian nafkah dalam proses perceraian, diantaranya adalah faktor kurangnnya pemahaman agama, faktor kurangnya tanggung jawab suami terhadap istri, faktor ekonomi, faktor tidak ada keserasian antara suami istri dan faktor kejenuhan antara suami istri. Hukum Islam memandang bahwa semua faktor yang menjadi alasan pengabaian nafkah dalam proses perceraian tidaklah dibenarkan. Perihal ketidakmampuan suami untuk memberikan nafkah karena faktor ekonomi menjadi sebuah pengecualian karena tidak dibebankan kepada seseorang sebuah kewajiban melainkan atas kesanggupannya. Suami yang tidak memberikan nafkah selama masa perceraian dapat menjadi hutang baginya dan harus dibayarkan. Namun apabila istri merelakan hutang tersebut tidak dibayarkan oleh suaminya, maka suaminya terbebas dari PT Raja Grafindo PersadaBangbang SunggonoMetode PenelitianHukumBangbang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta PT Raja Grafindo Persada Perkawinan Islam IndonesiaH A HamidSarongH. A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam Indonesia, Cet. II,Banda Aceh Yayasan PeNA Penerjemah, Abu Usamah Fakhtur RokhmanM A Tihami DkkFikih Tihami dkk, Fikih Munakahat, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2010. IbnuRusyd Penerjemah, Abu Usamah Fakhtur Rokhman, Bidayatul Mujtahid 2, Jakarta PustakaAzzam 2007Imam AbizakariayahyaMinhajuth Al-ThalibinImam AbiZakariaYahya, Minhajuth al-Thalibin, Al-Mahalli juzuk 4, Solo Manara Kudus, 1975Imam Al-Alusi Al-BagdadiRuhul MaImam Al-Alusi Al-Bagdadi, Ruhul Ma"ani fi Tafsiral-Qur"an, Juz Ke 2,Terj. Syihabuddin Mahmud, KairoDar Al-Hadist, 2005,C S T KansilKansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet. 8, Jakarta Balai Pustaka, SyaikhSyujaSyaikh Abu Syuja", Penerjemah Mahmud Zaini, Matnul Ghayah Wat Tagrib, Jakarta Pustaka Amani, cet 2, Hasyitan"ala Syarh al-MahalliQalyubiQalyubi-"Umairah, Hasyitan"ala Syarh al-Mahalli "ala Minhājal-Thālibĩn Juzuk Keempat, Solo Manara Kudus, 1976, hlm dan Terjemahan. Jakarta Cahaya Qur"anMuhammad Ihsan SikhaqIhsan Sikhaq Muhammad, Qur"an dan Terjemahan. Jakarta Cahaya Qur"an, 2011, hlm. HasanM. Ali Hasan, Pedoman Hidup Dalam Berumah Tangga, Jakarta Prenada Media, 2003.

Perbedaanini muncul akibat perbedaan dalam membangun teori ushul fiqh yang digunakan dalam menggali hukum islam. Aliran pertama disebut dengan aliran Syafi’iah dan jumhur Mutakalimin (ahli kalam). Dan Aliran kedua dalam ilmu ushul fiqh adalah aliran fuqoha,yang dianut ulama- ulama mazhab Hanafi. DAFTAR PUSTAKA.
Assalaamu 'Alaikum Wa Rohmatullaahi Wa Barokaatuh ... Bismillaah Wal Hamdulillaah ... Wash-sholaatu Was-salaamu 'Alaa Rasuulillaah ... Wa 'Alaa Aalihi Wa Shohbihi Wa Man Waalaah ... Salah satu penyebab Takfir antara kaum muslimin dari aneka ragam Madzhab dan Firqoh adalah ketidak-mampuan kebanyakan awam umat Islam dalam membedakan antara Ushuluddin dan Furu’uddin. Ushuluddin adalah pokok-pokok / dasar-dasar ajaran agama Islam yang sangat prinsip dan amat mendasar serta fundamental, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq, karena berdiri di atas dalil qoth’i yang mutlak benar, yaitu yang keyakinan kebenarannya mencapai tingkat kepastian, sehingga tidak diperkenankan adanya perbedaan. Setiap perbedaan dalam Ushul merupakan Inhiraf yaitu penyimpangan yang wajib diluruskan. Sedang Furu’uddin adalah cabang-cabang / ranting-ranting ajaran agama Islam yang sangat penting tapi tidak prinsip dan tidak mendasar serta tidak fundamental, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq, karena berdiri di atas dalil zhonni yang tidak mutlak benar, yaitu yang keyakinan kebenarannya tidak mencapai tingkat kepastian, sehingga diperkenankan adanya perbedaan selama ada dalil syar’i yang mu’tabar. Setiap perbedaan dalam Furu’ merupakan Ikhtilaf yaitu khilafiyah yang wajib dihargai. Baik Ushuluddin mau pun Furu’uddin sama-sama harus berdiri di atas Dalil Syar’i, Jika tidak ada Dalil Syar’i, maka menjadi Penyimpangan, baik dalam Ushul mau pun Furu’. Karenanya, peranan Dalil Syar’i dalam Ushul dan Furu’ sangat penting dan amat menentukan. PERAN USHUL DAN FURU’ Karenanya, memahami Ushuluddin dan Furu’uddin merupakan kunci untuk mengetahui mana yang prinsip dan mana yang tidak prinsip dalam ajaran Islam, guna memudahkan pemilahan antara perbedaan dan penyimpangan agama, sehingga menjadi dasar penyikapan yang benar untuk toleransi menghargai terhadap perbedaan atau tegas meluruskan terhadap penyimpangan. Problemnya, banyak kalangan awam umat Islam tidak mampu membedakan antara Ushul dan Furu’. Ada kelompok yang melihat Ushul sebagai Furu’, sehingga mereka toleransi terhadap Penyimpangan Ushul karena dianggap sebagai Perbedaan Furu’. Contoh kasusnya adalah kelompok Islam yang sangat toleran dan bersahabat terhadap aliran Ahmadiyah yang telah nyata melakukan Penyimpangan Ushul, karena dianggap hanya Perbedaan Furu’, sehingga yang seharusnya mereka bersikap tegas meluruskan terhadap penyimpangan, justru mereka jadi bersikap toleransi menghargai terhadap penyimpangan tersebut karena dianggap perbedaan. Sebaliknya, ada lagi kelompok yang melihat Furu’ sebagai Ushul, sehingga mereka tidak toleransi terhadap Perbedaan Furu’ karena dianggap sebagai Penyimpangan Ushul. Contoh kasusnya adalah kelompok Islam yang mudah menyesatkan bahkan mengkafirkan saudara muslim lainnya hanya lantaran Perbedaan Furu’, baik dalam soal Furu’ Aqidah seperti masalah Tawassul dan Tabarruk, mau pun dalam soal Furu’ Syariah seperti Qunut Shubuh dan Peringatan Maulid Nabi SAW, karena dianggap sebagai Penyimpangan Ushul, sehingga yang seharusnya mereka bersikap toleransi menghargai terhadap perbedaan, justru mereka jadi bersikap tegas meluruskan terhadap perbedaan tersebut karena dianggap penyimpangan. Oleh sebab itu, umat Islam wajib berkemampuan untuk melakukan pemilahan antara Ushul dan Furu’, agar mampu membedakan antara perbedaan dan penyimpangan, sehingga menjadi lurus dan benar dalam bersikap. Pemilahan Masalah ke dalam Ushul atau Furu’ bergantung kepada Nilai Hujjah yaitu kekuatan dalil. Ada pun Nilai Hujjah suatu Dalil bergantung kepada jenis dalil baik dari segi Wurud mau pun Dilalah. NILAI HUJJAH Dari segi Wurud yaitu bagaimana datangnya suatu Dalil Syar’i kepada kita terbagi menjadi Dua Nilai Hujjah 1. Setiap dalil yang bersifat Mutawatir, yaitu Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir, maka nilai hujjahnya adalah Qoth’i secara Wurud. 2. Setiap dalil yang bersifat Ahad, yaitu semua hadits Ahad, maka nilai hujjahnya adalah Zhonni secara Wurud. Dan dari segi Dilalah yaitu bagaimana suatu dalil menunjukkan kepada suatu hukum, maka nilai hujjahnya juga terbagi Dua Nilai Hujjah 1. Setiap dalil yang Mono Tafsir atau Mono Ta’wil, yaitu yang hanya mengandung satu makna, maka nilai hujjahnya Qoth’i secara Dilalah. 2. Setiap dalil yang Multi Tafsir, yaitu yang mengandung lebih dari satu makna, maka nilai hujjahnya Zhonni secara Dilalah. METODOLOGI PEMILAHAN USHUL DAN FURU Selanjutnya, Metodologi Pemilahan masalah kepada Ushul dan Furu’ secara singkat adalah sebagai berikut 1. Jika suatu masalah memiliki Dalil yang bernilai Qoth’i, baik dari segi Wurud mau pun Dilalah, maka masalah tersebut pasti termasuk masalah Ushuluddin. Contoh Firman Allah dalam ayat 1 tentang Keesaan Allah SWT merupakan Dalil Qoth’i secara Wurud karena berupa Ayat Al-Qur’an, dan Qoth’i juga secara Dilalah karena Mono Tafsir, maka hal ini merupakan masalah Ushuluddin. Karenanya, dalam hal Keesaan Allah SWT tidak boleh ada perbedaan pendapat antara Madzhab Islam. Barangsiapa menolak Keesaan Allah SWT, maka ia menyimpang dan tersesat bahkan kafir dan keluar dari Islam, karena Ushuluddin merupakan Ushul Islam. 2. Jika suatu masalah memiliki Dalil yang bernilai Zhonni, baik dari segi Wurud mau pun Dilalah, maka masalah tersebut pasti termasuk masalah Furu’uddin. Contoh Hadits Nabi SAW dalam Sunan Abi Daud hadits dan Sunan An-Nasaa-i hadits ke tentang perintah / anjuran membaca Surat Yaasiin atas ”Mautaa” merupakan Dalil Zhonni secara Wurud karena berupa Hadits Ahad, dan Zhonni juga secara Dilalah karena Multi Ta’wil, dimana kata ”Mautaa” bisa berarti orang yang sedang sekarat, dan bisa juga bermakna orang yang sudah meninggal dunia, maka hal ini merupakan masalah Furu’uddin. Karenanya, umat Islam berbeda pendapat dalam soal ini, ada yang menyatakan bahwa Surat Yasin dibaca atas orang yang sekarat bukan yang sudah meninggal dunia, tapi ada juga yang berpendapat sebaliknya bahwa Surat Yasin dibaca atas orang yang sudah meninggal dunia bukan yang sedang sekarat, lalu ada juga yang membolehkan keduanya. 3. Jika suatu masalah memiliki Dalil yang bernilai Qoth’i dari segi Wurud, namun bernilai Zhonni dari segi Dilalah, maka masalah tersebut pasti termasuk masalah Furu’uddin. Contoh Firman Allah dalam 43 dan 6 tentang salah satu yang membatalkan wudhu adalah ”Laamastumun Nisaa” merupakan Dalil Qoth’i secara Wurud karena berupa Ayat Al-Qur’an, namun Zhonni secara Dilalah karena Multi Tafsir, dimana ada yang menafsirkannya ”menyentuh perempuan” dengan sentuhan biasa, yaitu kulit bertemu dengan kulit, dan ada pula yang menafsirkannya ”menggauli perempuan”, maka hal ini merupakan masalah Furu’uddin. Karenanya, Ulama berbeda pendapat dalam soal ini, ada yang menyatakan bahwa menyentuh perempuan yang bukan mahram membatalkan wudhu secara mutlak, tapi ada yang mensyaratkan menyentuhnya dengan sengaja, dan ada lagi yang mensyaratkan menyentuhnya dengan syahwat, lalu ada juga yang menyatakan menyentuh saja tidak membatalkan wudhu tapi menggaulinya yang membatalkan wudhu. 4. Jika suatu masalah memiliki Dalil yang bernilai Zhonni dari segi Wurud, namun bernilai Qoth’i dari segi Dilalah, maka masalah tersebut pasti termasuk masalah Ushul Madzhab. Contoh Hadits Nabi SAW tentang pertanyaan Munkar dan Nakir dalam Kubur merupakan Dalil Zhonni secara Wurud karena berupa Hadits Ahad, namun Dalil Qoth’i secara Dilalah karena Mono Ta’wil, maka hal ini merupakan masalah Ushul Madzhab. Aswaja menjadikan iman kepada adanya pertanyaan Munkar dan Nakir dalam Kubur sebagai Ushul Madzhab Aswaja, karena bagi Aswaja bahwa Hadits Ahad selama Shahih maka wajib dijadikan dalil dalam Aqidah mau pun Hukum. Sedang Mu’tazilah menolaknya, karena bagi Mu’tazialh bahwa masalah Aqidah tidak boleh menggunakan Hadits Ahad karena nilainya Zhonni, sehingga Mu’tazilah tidak percaya adanya pertanyaan Munkar dan Nakir dalam Kubur. Disini, Mu’tazilah tidak boleh divonis Kafir lantaran persoalan ini, tapi cukup dikatakan bahwa Mu’tazilah bukan Aswaja. USHUL FURU’ DALAM AQIDAH, SYARIAH DAN AKHLAQ Ushuluddin sering diidentikkan dengan Aqidah, karena kebanyakan masalah Ushul adalah masalah Aqidah. Sedang Furu’uddin sering didentikkan dengan Syariat, karena kebanyakan masalah Furu’ adalah masalah Syariat. Namun sebenarnya, dalam Ushuluddin ada masalah Aqidah mau pun Syariat, bahkan Akhlaq. Begitu juga dalam Furu’uddin juga ada masalah Aqidah mau pun Syariat, bahkan Akhlaq. Karenanya, dalam Aqidah dan Syariat mau pun Akhlaq ada masalah Ushul yang tidak boleh berbeda dan ada juga masalah Furu’ yang boleh berbeda. Itulah sebabnya, ada istilah-istilah Ushul Aqidah dan Furu Aqidah, Ushul Syariat dan Furu’ Syariat, Ushul Akhlaq dan Furu Akhlaq. Para Ulama Salaf mau pun Khalaf, tidak pernah berbeda pendapat dalam masalah Ushul, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq. Namun mereka ada berbeda pendapat dalam masalah Furu’, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq. CONTOH USHUL DAN FURU’ Beberapa contoh lain tentang Ushul dan Furu’ dalam Aqidah, Syariah dan Akhlaq, antara lain a. Dalam masalah Aqidah, Iman kepada Keesaan dan Kesucian Allah SWT yang tidak ada sekutu apa pun dan tidak ada yang seperti-Nya, dan Dia SWT tidak butuh kepada Alam Semesta ciptaan-Nya, termasuk Dzat-Nya tidak butuh kepada ruang, sudut dan waktu, merupakan masalah Ushul Aqidah. Sedang soal kemungkinan melihat Allah SWT bagi orang-orang beriman di Hari Akhir nanti, apakah dengan mata kepala sebagaimana keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau hanya melihat dengan mata hati sebagaimana keyakinan Mu’tazilah, adalah masalah Furu’ Aqidah. b. Dalam masalah Syariah, Kewajiban Shalat Lima Waktu adalah merupakan masalah Ushul Syariah. Sedang masalah Niat Shalat boleh dilafazhkan atau tidak, lalu tentang Udzur Shalat Jama’ apakah hanya terbatas pada Hujan dan Musafir, atau mencakup juga Khauf dan Sakit, atau lebih luas dari itu, semuanya merupakan masalah Furu’ Syariah. c. Dalam masalah Akhlaq, Menyintai dan Menghormati Rasulullah SAW dan Ahlul Baitnya serta para Shahabatnya adalah merupakan masalah Ushul Akhlaq. Namun soal memberi gelar kehormatan di depan nama mereka sebagai tanda cinta, seperti kata ”Sayyiduna” bagi yang pria dan ”Sayyidatuna” bagi yang wanita, apakah boleh atau tidak atau justru lebih afdhol, adalah merupakan masalah Furu’ Akhlaq. USHUL ISLAM DAN USHUL MADZHAB Ushul Islam adalah Ushuluddin yang mutlak tidak menerima perbedaan pendapat dengan alasan apa pun. Setiap perbedaan dalam Ushul Islam secara mutlak tidak bisa dibenarkan, dan secara mutlak pula disebut sebagai Penyimpangan Inhiraf. Dan penyimpangan dalam Ushul Islam adalah Kesesatan bahkan bisa menjadi Kekafiran, sehingga tidak boleh ditoleran, tapi wajib diluruskan. Barangsiapa menolak atau membangkang terhadap Ushul Islam yang telah disepakati semua Madzhab Islam maka ia keluar dari Islam, karena ia telah menyimpang dari pokok-pokok / dasar-dasar ajaran agama Islam yang sangat prinsip dan mendasar serta fundamental. Penyimpangan sekecil apa pun tetap penyimpangan. Dan sekecil apa pun penyimpangan dalam Ushul tetap merupakan kesesatan yang mesti diluruskan. Ada pun Ushul Madzhab yaitu masalah dalam ajaran agama Islam yang diyakini sebagai Ushuluddin oleh suatu Madzhab Islam, tapi ditolak oleh Madzhab Islam yang lain, bahkan terkadang Madzhab Islam yang lain berpendapat sebaliknya, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq. Dengan kata lain, Ushul Madzhab ialah pokok-pokok / dasar-dasar ajaran agama Islam yang diyakini oleh suatu Madzhab Islam, tapi tidak diyakini oleh Madzhab Islam lainnya. Ushul Madzhab ini tidak secara mutlak menolak perbedaan pendapat, sehingga perbedaan dalam Ushul Madzhab tidak bisa dihindarkan. Perbedaan dalam Ushul Madzhab tidak mengantarkan kepada kekafiran. Barang siapa yang melanggar Ushul Madzhab maka ia tidak boleh dikafirkan atau divonis keluar dari Islam, tapi cukup disebut tidak tergolong dalam Madzhab Islam yang meyakininya sebagai Ushul. Karenanya, Ushul Madzhab dalam kontek hukumnya menyerupai Furu’uddin, sebab adanya perbedaan pandangan antar Madzhab Islam membuatnya menjadi tidak prinsip dan tidak mendasar serta tidak fundamental lagi. Perbedaan dalam Ushul Madzhab masuk katagori Khilafiyah, bukan penyimpangan, sehingga harus dihargai sebagai sebuah perbedaan. Namun demikian, masih banyak pihak yang menjadikan Ushul Madzhab sebagai Ushuluddin, sehingga mereka mengkafirkan siapa saja yang berbeda Ushul Madzhabnya. KONSEKWENSI DUA USHUL Pemilahan Ushul menjadi Ushul Islam dan Ushul Madzhab ini dimaksudkan untuk 1. Agar antar Madzhab Islam saling menjaga Ushul Islam dari segala bentuk penyelewengan. 2. Agar antar Madzhab Islam tidak saling menyesatkan, apalagi mengkafirkan dalam masalah Ushul Madzhab. Berikut beberapa contoh tentang konsekwensi pandangan tentang Ushul Islam dan Ushul Madzhab 1. Kemakhluqan Al-Qur’an ? Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah dan bukan makhluq, sedang Mu’tazilah meyakini bahwa Al-Qur’an adalah makhluq. Jika persoalan ini dikatagorikan sebagai Ushul Islam, maka Ahlus Sunnah menjadi kafir dalam pandangan Mu’tazilah, dan sebaliknya Mu’tazilah pun menjadi kafir dalam pandangan Ahlus Sunnah. Namun, jika masalah ini dikatagorikan sebagai Ushul Madzhab, maka yang menolak kemakhluqan Al-Qur’an dipastikan bukan Mu’tazilah, dan sebaliknya yang menerima kemakhluqan Al-Qur’an dipastikan bukan Ahlus Sunnah, tapi semuanya tidak boleh dikafirkan lantaran masalah tersebut, karena Ushul Madzhab dalam konteks hukumnya tidak termasuk katagori Ushuluddin, tapi termasuk katagori Furu’uddin. 2. Ta’wil Ayat Sifat ? Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang Salaf mau pun Khalaf, meyakini bahwa menta’wilkan sifat-sifat Allah SWT dengan Makna Majazi dibolehkan manakala Makna Hakiki mustahil digunakan. Sedang kalangan Wahabi yang mengklaim sebagai pengikut Madzhab Salaf yang paling Aswaja, menolak ta’wil sifat-sifat Allah SWT, sehingga mereka memaknainya dengan Makna Zhohiri, bahkan terkadang cenderung dengan Makna Hakiki. Jika persoalan ini dikatagorikan sebagai Ushul Islam, maka Ahlus Sunnah menjadi kafir dalam pandangan Wahabi, dan sebaliknya Wahabi menjadi kafir dalam pandangan Ahlus Sunnah. Namun, jika masalah ini dikatagorikan sebagai Ushul Madzhab, maka yang menerima Ta’wil Sifat dipastikan bukan Wahabi, dan sebaliknya yang menolak Ta’wil Sifat dipastikan bukan Ahlus Sunnah, tapi semuanya tidak boleh dikafirkan lantaran masalah tersebut, karena Ushul Madzhab dalam konteks hukumnya tidak termasuk katagori Ushuluddin, tapi termasuk katagori Furu’uddin 3. Keabsahan Kekhilafahan Khulafa Rasyidin ? Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat meyakini keabsahan Kekhilafahan Khulafa Rasyidin yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, radhiyallaahu ’anhum. Sedang Syi’ah Imamiyah tidak mengakui keabsahan Khulafa Rasyidin, melainkan meyakini keabsahan Wilayah sekaligus Khilafah Dua Belas Imam yaitu Ali Al-Murtadho, Al-Hasan, Al-Husein, As-Sajjad, Al-Baqir, Ash-Shodiq, Al-Kazhim, Ar-Ridho, Al-Jawad, Al-Hadi, Al-’Askari dan Al-Mahdi, radhiyallaahu ’anhum. Jika persoalan ini dikatagorikan sebagai Ushul Islam, maka Ahlus Sunnah menjadi kafir dalam pandangan Syi’ah Imamiyah, dan sebaliknya Syi’ah Imamiyah menjadi kafir dalam pandangan Ahlus Sunnah. Namun, jika masalah ini dikatagorikan sebagai Ushul Madzhab, maka yang menolak keabsahan Kekhilafahan Khulafa Rasyidin dipastikan bukan Ahlus Sunnah, dan sebaliknya yang menerima Kekhilafahan Khulafa Rasyidin dipastikan bukan Syi’ah Imamiyah, tapi semuanya tidak boleh dikafirkan hanya lantaran masalah tersebut, karena Ushul Madzhab dalam konteks hukumnya tidak termasuk katagori Ushuluddin, tapi termasuk katagori Furu’uddin. KESIMPULAN Perbedaan Ushul dan Furu’ sesuai dengan definisi masing-masing beserta ruang lingkup dan berbagai contoh masalahnya sebagaimana telah dipaparkan di atas secara singkat dan ringkas, maka bisa disimpulkan sebagai berikut 1. Ushul berdasarkan dalil qoth’i, sedang Furu’ berdasarkan dalil zhonni. 2. Ushul memiliki kebenaran mutlak, sedang Furu’ tidak. 3. Ushul kebenarannya mencapai kepastian, sedang Furu’ tidak. 4. Ushul harus disepakati, sedang Furu’ tidak mesti. 5. Ushul tidak menerima perbedaan, sedang Furu’ menerima. 6. Ushul tidak bisa berubah, sedang Furu’ ada yang bisa berubah. 7. Ushul sangat prinsip, mendasar dan fundamental, sedang Furu’ tidak. 8. Ushul perbedaannya disebut Inhiraf, sedang Furu’ perbedaannya disebut Ikhtilaf. 9. Ushul perbedaannya harus diluruskan, sedang Furu’ perbedaannya harus dihargai. 10. Ushul perbedaannya melahirkan Firqoh, sedang Furu’ perbedaannya melahirkan Madzhab. Dengan demikian jelas, bahwa pengetahuan tentang Ushul dan Furu menjadi sangat penting bagi umat Islam, sehingga mutlak dibutuhkan pembelajaran Metodologi Pemilahan antara Ushul dan Furu kepada kaum muslimin untuk mengetahui mana yang prinsip dan mana yang tidak prinsip. Untuk memenuhi kebutuhan umat tersebut, maka Alhamdulillah saya mendapat kesempatan baik untuk merampungkan Desertasi dalam bahasa Arab di University Sains Islam Malaysia USIM di Bandar Nilai – Malaysia dengan judul ”Manaahijut Tamyiiz bainal Ushuul wal Furuu’ inda Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah” artinya ”Metodologi Pemilahan Ushul dan Furu menurut Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah” di bawah bimbingan Guru Besar USIM bidang Ushuluddin, yaitu Nurdin Marjuni dan Abdul Malik, Hafizhohumallaahu Ta’aalaa.. Insya Allah, dalam waktu dekat akan rampung dan diujikan di USIM, untuk kemudian bisa dipublikasikan bagi kepentingan umat Islam. Alhamdulillaahi Robbil 'Aalamiin ... Sumber
Tidakada taklid dalam masalah ushuliyah ini, dan wajib bagi setiap muslim untuk mempelajari akidah dengan segala dalinya atau argumentasinya, supaya tertanam keyakinan didalam hati, dan imanya tidak rapuh karena adanya keraguan. Yang diperbolehkan untuk taklid adalah persoalan furu’iyyah, seperti persoalan I’tiqad, Ushul Fiqih, dan Fiqih.
Ada perbedaan pendapat dalam hal ini 1. Kelompok ulama yang menolak adanya pembagian ushul pokok dan furu’ cabang dalam masalah aqidah. Misalnya, Imam Ibnu Taimiyah, bahkan beliau menyebut pembagian itu adalah bid’ah, dan merupakan ide dari mu’tazilah. Serta pembagian ini tidak dikenal oleh sahabat, tabi’in, dan para imam generasi awal. Mukhtashar Al Fatawa Al Mishriyah, Hal. 68 2. Kelompok ulama yang mengakui adanya ushul dan furu’ dalam aqidah. Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan فإن أصول العقيدة هي الإيمان بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وبالقدر خيره وشره، وأما الفروع فهي ما يتفرع عن هذه الأصوال من المباحث العقدية. Perkara ushul dalam aqidah adalah seperti iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitabNya, para rasulNya, hari akhir, serta qadha dan qadar. Sedangkan furu’nya adalah apa-apa yang menjadi rincian cabang yang pokok ini dari berbagai pembahasan aqidah. Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 93671 Para ulama memberikan contoh yang furu’, seperti melihat Allah di surga, isra mi’raj itu jasad dan ruh atau hanya ruh saja, dll. Wallahu a’lam. . 343 19 433 413 466 307 199 184

ushul dan furu dalam aqidah